Oleh Adhie M Massardi
SURVEI memang mahluk baru di bumi Nusantara. Meskipun baru, karena bentuknya dianggap unik, survei cepat menarik perhatian kita. Yang memopulerkan survei ke publik pada mulanya juga televisi. Cuma sebutannya: rating. Nah, acara TV yang ada rating-nya bisa memanen duit karena akan dipasangi banyak iklan.
Dikutip dari Indonesia Monitor, dimuat atas izin penulis yang kebetulan kawan sendiri.
Karena terkait langsung dengan laba, banyak orang lalu beternak survei, bahkan menjadi cabang industri tersendiri. Kini bertumbuhan perusahaan “peternak” survei. Tak usah disebut namanya di sini, karena setiap saat bisa Anda baca nama-namanya di media massa.
Betul, kemunculan nama perusahaan survei selalu bergandengan dengan berita seputar pemilu, baik yang pilkada, maupun pilpres. Soalnya uang di republik ini lebih banyak beredar di sektor politik ketimbang di sektor riil. Artinya, di politik uangnya lebih “riil”. Kalau tidak percaya, tanya para pengusaha kelas UKM yang kini banyak menganggur.
Survei yang dulu identik dengan rating TV dan iklan, sekarang memang lebih banyak tampil dalam busana politik. Orang yang paling bertanggungjawab menyeret survei ke dunia politik ya Denny JA itu, yang setelah keluar dari LSI lalu bikin LSI. (Biar yang baca agak pusing, LSI dan LSI sengaja tidak dijabarkan kepanjangannya, karena itu juga hakekat dari survei: bikin penasaran!)
Di Amrik, survei politik yang dulu kita kenal dengan istilah jajak pendapat, dimulai sejak 1824 oleh koran The Harrisburg Pennsylvanian, saat pilpres menampilkan Andrew Jackson vs John Quincy Adams. Belakangan, survei yang semula tidak ilmiah, disempurnakan sistemnya oleh ahli statistik George Gallup. Dengan bendera The Gallup Organization, Gallup Poll kini jadi lembaga penyurvei paling andal, paling terpercaya dan paling kredibel di muka bumi.
Kredibilitas dan akuntabilitas memang dua kunci suksesnya lembaga survei. Sialnya dua kata itu, baik sendiri-sendiri apalagi digandengkan, nyaris sulit ditempelkan kepada siapa pun dan lembaga apa pun di negeri ini.
Coba sebutkan, siapa atau lembaga mana yang memiliki kredibilitas? Siapa atau lembaga mana yang memiliki akuntabilitas? Lha, Al Amin (yang terpercaya) saja dijebloskan ke penjara oleh KPK karena terbukti korupsi.
Padahal diwajibkan atas lembaga survei memliki kedua kata itu (kredibilitas dan akuntabilitas). Ini rintangan paling nyata bagi industri persurveian di negeri kita, selain budaya agraris yang lebih percaya kepada ramalan atau hal-hal lain yang berbau klenik.
Kuatnya budaya agraris di masyarakat kita, membuat hasil survei diperlakukan seperti ramalan. Maka membaca hasil survei seperti membaca ramalan bintang. Maksudnya, kalau bagus ya dipercaya 100 persen, tapi kalau buruk dibilang: “Ah, namanya juga ramalan, bisa salah bisa benar…!”
Survei sebenarnya penting, terutama bagi bangsa yang ingin melangkah ke kehidupan modern, yang industri. Sebab langkah yang hitungannya berbasis hasil survei bisa mengurangi resiko. Maka membudayakan survei dan membacanya secara benar, akan menuntun kita ke arah Indonesia yang lebih baik.
Bahwa merupakan kalaziman di kalangan surveyor kita “harus bayar dulu” baru bisa masuk hitungan survei, biarlah itu menjadi tanggungjawab moral intelektual para bandar survei. Sebab lain ladang lain belalang, lain yang bayar lain pula hasil surveinya.
Jadi, hasil survei “keterpilihan calon presiden RI 2009” yang banyak beredar belakangan ini, harus dibaca dengan bijak. Artinya, kalau menurut Anda “capres terpilih dalam survei” itu bisa terjadi pada pilpres 2009 nanti, tapi menurut Anda dampaknya akan membuat rakyat makin terperosok ke jurang kesengsaraan, maka kewajiban moral intelektual Anda untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat agar mengubah pandangannya.
Hasil survei harus kita jadikan sebagai peringatan dini. Alarm tanda bahaya!
