Konspirasi Bakrie Mempersolek Lusi

indonesia monitorHARI-HARI terakhir ini terasa begitu berat bagi Aburizal Bakrie. Memasuki awal bulan, ia harus merelakan perusahaannya, PT Bakrie and Brothers Tbk, melepas sahamnya di PT Bu mi Resources Tbk ke konsorsium Northstar Pacific senilai 1,3 miliar dolar AS.

PT Bakrie and Brothers terpaksa melepas seluruh portofolionya di Bumi karena dililit utang gadai saham dengan jumlah pokok sebesar Rp 11,51 triliun dan bunga pinjaman sekitar 1,22 triliun.

Bak karambol, dilegonya saham Bakrie Group di Bumi memantikkan isu perpecahan di Kabinet Indonesia Bersatu. Abu rizal Bakrie, sang penguasa imperium yang juga Menko Kesra itu dikabarkan bersitegang dengan Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati gara-gara kasus ini.

Dikutip dari www.indonesia-monitor.com.

Belum sempat bernapas, Bakrie kembali dibuat pusing dengan munculnya “letupan” demonstrasi korban lumpur Lapindo, Jumat (7/11). Puluhan warga Sidoarjo korban lumpur Lapindo menuntut pembayaran uang muka jual-beli sebesar 20 persen yang molor dari kesepakatan. Mereka memblokir jalan masuk ke tanggul yang membuat kendaraan berat pengangkut pasir milik PT Lapindo Brantas Inc berhenti beroperasi.

Tak urung, kabar itu pun sampai juga ke telinga Presiden SBY. Pada rapat kabinet di Istana Kepresiden, Senin (10/11) kemarin, pemerintah mendesak PT Minarak Lapindo, anak perusahaan PT La pindo Brantas Inc, segera membayar ganti-rugi kepada para korban. “Tidak ada dana talangan,” ujar Menteri Pekerjaan Umum (PU) Djoko Kirmanto usai rapat. 

Namun, yang membuat Bakrie kelimpungan adalah tersiarnya ke publik luas hasil konferensi American Association of Petroleum Geologists (AAPG) 2008 International Conference and Exhibition di Cape Town, Afrika Selatan, 26-29 Oktober 2008. Pada sesi diskusi “Lusi Mud Volcano: Earthquake of Drilling Trigger”, yang diikuti 74 ahli geologi dari berbagai negara, mayoritas sepakat bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah karena kesalahan pengeboran, bukan gempa bumi seperti yang disuarakan pihak Bakrie Group.

“Yang setuju (penyebab sem buran lumpur Lapindo) akibat bencana alam cuma 3 orang, yang setuju akibat pe­ngeboran 42 orang, yang percaya akibat kedua-duanya ada 13 orang, dan yang inkonklusif ada 16 orang,” ungkap Dr Rudy Rubiandini, ahli geologi ITB yang menjadi salah satu peserta konferensi itu, kepada Indonesia Monitor, Rabu (5/11).

Padahal, Bakrie Group berusaha keras meredam informasi semacam itu agar tidak sampai ke telinga publik. Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim Bambang Catur Nusantara, pada pertemuan sejenis di London, Inggris, sepekan sebelum konferensi AAPG di Cape Town, pihak Lapindo membuat siaran pers yang hasilnya berbeda dengan hasil pertemuan para ahli tersebut.

“Pihak Lapindo mengatakan semburan lumpur Lapindo tidak ada hubungannya dengan pengeboran. Padahal, dari konfirmasi para ahli yang menghadiri acara tersebut, tidak ada pernyataan seperti yang disampaikan Lapindo,” ungkap Bambang Catur Nusantara kepada Indonesia Monitor, Rabu (5/11).

Bambang menilai hal itu sebagai upaya pembohongan publik. Makanya, Walhi sedang mempertimbangkan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan. Bahkan, menurut nya, sejak awal semburan lumpur, pihak Lapindo Brantas Inc sudah mempersiapkan setting bahwa tidak ada relasi antara pengeboran dan semburan lumpur.

Dari hari pertama meledak, 29 Mei 2006, kata Bambang, pihak Lapindo sudah menyatakan hal itu sebagai akibat dari gempa bumi tektonik di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Mereka pun melakukan pertemuan dengan pihak perguruan tinggi, asosiasi pengusaha minyak, lembaga penelitian, dan ikatan ahli geologi, untuk men­dapatkan dukungan suara.

“Padahal, para ahli yang punya idealisme menyatakan bahwa semburan diakibatkan oleh salah pengeboran. Hal yang sama juga ditemukan saat dilakukan audit BPK yang menyebutkan penyebab semburan itu adalah terkait dengan kesalahan prosedur,” tutur Bambang.

“Bahkan, pihak Medco sebagai share holder sudah mengingatkan, di Blok Brantas untuk pemasangan chasing pada ke dalaman yang ditentukan. Tapi tidak dilaku­kan. Ini yang membuat Medco tidak mau menanggung kerugian itu,” tambahnya.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Siti Maemunah juga melihat ada upaya Lapindo untuk mengaburkan fakta yang sebenarnya. “Saya rasa Lapindo tidak akan percaya itu (hasil konferensi di Cape Town). Ia akan percaya pada ahli yang dia bayar,” ujar Siti Maemunah kepada Indonesia Monitor, Selasa (4/11).

Tak hanya itu usaha lepas ta ngan yang dilakukan Bakrie Group. Menurut Maemunah, Bakrie juga minta digunakan istilah ‘lumpur Sidoarjo’ (Lusi) atau’‘lumpur Porong’ (Lupo), untuk mengganti istilah ‘lumpur Lapindo’ (Lula). Maemunah melihat ini sebagai salah satu upaya rekayasa un tuk melepas keterkaitan La pin do dengan tragedi sem bur an lumpur itu.  

Rekayasa isti lah ini pun telah “memakan kor ban”. Menurut sumber In do ne sia Monitor, seorang pe mim pin redaksi surat kabarnasional dipecat karena ketahuan memanipulasi Lula dengan istilah Lusi dalam setiap pe­ner bitan nya. “Mungkin dia ba gian dari yang ‘terbeli’ oleh Lapindo,” ujar sumber yang enggan disebutkan jati dirinya itu.   

Tak hanya “membeli” petinggi media, aktivis Gerakan Menutup Lumpur Lapindo (GMLL) Ali Azhar Akbar me nu ding ada konspirasi sis te mik yang melibatkan pe me rin tah, akademisi, oknum ang gota DPR dan peradilan. “Kons pirasi ini dibangun agar teknologi tidak bisa men jawab sehingga terjadi pem biar an. Maka, simpulannya, itu di luar kekuasaan manu sia, dan selanjutnya sembu ran itu disebut bencana. Itu yang dituju,” ungkap Ali Azhar Akbar kepada Indonesia Monitor, Senin (10/11). 

Ali menduga Bakrie Group mempunyai tiga skenario untuk menjalankan aksi pembohongan publik. Pertama, membangun opini publik, seolah-olah lumpur Lapindo disebabkan oleh gempa bumi. Kedua, memutus mata-rantai antara PT Lapindo Brantas Inc dan dua perusahaan lain sebagai pemilik saham. Ke iga, meminta semua biaya dampak luapan lumpur itu melalui cost recovery.

Jika skenario pertama berjalan mulus, menurut Ali, tanggung jawab akan diambil alih negara, dalam hal ini oleh Menko Kesra. Tak heran, kasus ini bisa bertahan sampai dua tahun. Skenario kedua adalah pailit. Skenario ini sudah berjalan, sebab pada akhir 2007, konsolidasi keuangan dari PT Lapindo Brantas sudah diputus dari dua perusahaan pemilik saham lainnya.

“Tinggal selangkah lagi. Kalau nanti dinyatakan pailit oleh Pengadilan Tata Niaga, maka yang pailit berarti cuma PT Lapindo Brantas. Jika pailit, maka negara yang menanggung beban recovery dari dampak lumpur itu,” ujarnya.

Skenario ketigalanjut Ali, cost recovery biayanya diambil dari pemerintah. Padahal, semua biaya dan tanggung ja wab tidak bisa diambil dari cost recovery karena Lapindo belum berproduksi. Statusnya masih dalam tahap ekspl rasi.

Nah, muara dari semua konspirasi itu adalah pen jarahan APBN. Karena ka lau itu disebut gempa, maka bia ya ditanggung APBN. Ka lau disebut pailit, keku ra ngan nya diambil dari APBN. Kalaucost recovery juga dari APBN. Jadi, kasusnya hanya terjadi di Sidoarjo tapi yang kena adalah seluruh rakyat Indonesia, sebab biayanya dari APBN yang diambil dari pajak rakyat,” paparnya.

Anggota Komisi VII DPR Wahyudin Munawir juga mencium misteri dari berlarut-larutnya kasus Lapindo. “Ini aneh, sampai hari ini belum jelas siapa yang salah, dan belum jelas apakah itu disebut s bagai bencana alam atau bencana industri, kemudian siapa yang mesti bertanggung jawab,” ujar Wahyudin Munawir kepadaIndonesia Monitor, Kamis (6/11).

Dia melihat ada tiga faktor dalam kasus ini, yakni pemberian izin dari pemerintah yang tidak ketatdaerah yang sangat lemah, dan proses operasional Lapindo yang tidak hati-hati. “Saya nggak yakin apa kah pengeboran itu betul-betul diizinkan masyarakat melalui proses amdal yang melibatkan masyarakat,” tandasnya.

Anggota Fraksi PKS DPR itu juga mengakui adanya lobi-lobi yang gencar di DPR sehingga rencana penggunaan hak angket dan interpelasi kandas di tengah jalan. Akhirnya dilakukan kompromi dengan dibentuknya Tim Peng was Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS).

“Secara nilai, saya jadi prihatin dengan kenyataan ini,” ujarnya.

Ketika dikonfirmasi Indonesia Monitor, Jumat (7/11), Humas Bakrie Group, Lalu Mara Satriawangsa enggan berkomentar banyak. “Kalau masalah Lapindo dan yang terkait dengan itu, tanya saja sama humasnya langsung,” elaknya singkat.

Sementara itu, Vice President and Pub lic Relation PT Lapindo Brantas Inc, Yuniwati Teryana, membantah berbagai tudingan miring tentang perusahaan milik Bakrie itu. Soal konferensi di Cape Town, ia justru curiga ada skenario untuk pembenaran hipotesa dari kelompok tertentu.

“Tidak ada forum ilmiah yang diselesaikan dengan cara voting. Forum ilmiah harus diselesaikan dengan metode ilmiah karena dalam istilah ilmiah tak ada istilah kalah-menang,” ujar Yuniwati Teryana kepada Indonesia Monitor, Jumat (7/11).

Dia juga membantah jika Lapindo dan Bakrie Group melakukan upaya pembohongan publik dengan “membeli” orang media dan para pakar geologi.

“Kita tidak pernah membeli media. Kalau melakukan press conferenceme mang iya,” elaknya.

“Coba buktikan kalau kami beli para pakar. Mereka adalah orang-orang profesional,” tambahnya.

Mantan Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang disebut-sebut berpihak ke Lapindo juga membantah ketika dikonfirmasi soal itu. Lewat pesan pendek dia menulis, “Ah, aku tidak tanggapi wong tuduhan itu ngawur, itu fitnah. Mestinya, karakter bangsa kita tidak begitu kan, mari kita belajar dari John McCain, dia mengakui kemenangan dan kasih selamat kepada Obama. Kapan ya para ahli yang bersilang pendapat tentang Lusi ini berseru marilah kita bersama-sama mencari solusi untuk me ngatasi Lusi, bukan saling me­nyerang atau saling menuduh, bahkan memfitnah. Mudah-mudahan ini bukan kultur kita.”

Sementara, Humas Badan Penanggulanan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Ahmad Zulkarnen, selaku wakil pemerin­tah mengaku tidak akan terpengaruh dengan hasil konferensi di Cape Town.

“Itu kan pertemuan ilmiah. Pertemuan ilmiah kok tahu-tahu ada voting. Ada agenda apa? Itu kan mencurigakan. Artinya, kalau Anda mengatakan mereka itu independen dan bebas intervensi, proses voting itu saja saya meragukan. Tidak independen mereka itu,” ujar Ah mad Zulkarnaen kepada Indonesia Monitor, Jumat (7/11).

Jadi, para pakar itu bisa dibeli? “Iya. Orang asing, bule-bule itu bisa dibeli juga. Tidak independen juga mereka. Semua bisa dibeli. Apa sih yang tidak bisa dibeli? Pakar yang di dalam negeri juga bisa dibeli,” cetusnya.

Bagaimana dengan pakar yang pro-Lapindo?

One Reply to “”

Leave a comment