RUU Pornografi telah disahkan menjadi UU. Tapi pro-kontra belum berakhir. Masih sangat banyak masyarakat Indonesia yang menolak konsep pornografi yang disahkan itu, meskipun mayoritas setuju pornografi memang harus “diatur dan dikendalikan”.
Ditulis Eko Mariyadi alias Item, Ketua Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dikutip dari milis AJI.
Pengesahan RUU ini sekaligus mengakhiri kontroversi dan merupakan kemenangan politik bagi kelompok pendukung RUU Pornografi. Sebagai jurnalis, kita masih bisa menjaring suara2 mereka yang menolak (yang pastinya juga banyak), sambil tetap menyuarakan suara pendukung UU secara objektif. Jika anda seorang jurnalis, inilah panduannya:
1. Datangi para pakar hukum (usahakan yg kritis dan independen), wawancarai mereka seputar prosedur hukum yang benar untuk menolak sebuah UU, bagaimana publik bisa menjadi subjek hukum dalam kasus gugatan terhadap sebuah UU, dan bagaimana jika gugatan publik dimenangkan dan bagaimana jika tetap kalah.
2. Datangi anggota DPR yang bersih, smart, tapi tak suka publikasi, dan believe it or not “independen”. WWC mereka seputar proses politik dan pertempuran politik di balik RUU pornografi, dan tanyakan akan dibawa kemana negeri ini oleh para anggota Dewan kita? (Saya punya nomor kontak beberapa anggota DPR dimaksud tapi hanya akan saya berikan lewat japri kepada jurnalis yang memang sungguh2 ingin mengangkat isu ini).
3. Datangi tokoh2 Islam moderat, wawancarai mereka seputar “ide2 penegakan syariat” dalam UU Pornografi dan wacana apa yang sedang dikembangkan. Tanyakan juga kemana suara para penganut Islam moderat yang mayoritas.
4. Datangi tokoh2 Islam pendukung UU Pornografi. WWC mereka dengan
pertanyaan: apa sesungguhnya ide2 di balik pasal2 pornografi, benarkah
Indonesia akan dibawa menjadi negara berdasarkan syariat agama tertentu
(Islam)? Kenapa perjuangan mengusung syariat tak pernah behenti sejak zaman
kemerdekaan hingga sekarang? Apa konsep penegakan hukum UU Pornografi yang
baru disahkan ini. Tanyakan konsep INDONESIA menurut mereka…
5. Datangi tokoh2 masyarakat dan agama minoritas (non-Islam), wawancarai
mereka soal keberatannya terhadap UU Pornografi. Tantang mereka dengan
contoh2 pasal dan bentuk2 keberatan yang faktual, lebih detil/spesifik lebih
baik, ungkap kecemasan mereka yang paling mendasar terhadap RUU ini (bukan
sekadar bunyi penolakan) dan apa implikasi RUU ini dalam kehidupan mereka.
Mintakan juga konsep “Indonesia” menurut mereka.
6. Datangi kelompok2 Islam non-mainstream, seperti Ahmadiyah, Syiah, Komunitas Sufi, tanyakan kepada mereka kontroversi seputar RUU Pornografi dan lihat kepada siapa mereka “berpihak”, tanyakan juga apakah mereka ikut dilibatkan dalam perdebatan dan pengambilan keputusan RUU ini.
7. Datangi para tokoh nasionalis, tokoh militer (pensiunan), dan tokoh2 aliran kebatinan, ibu2 Majelis Taklim, ustadz di kampung2, pedagang keliling di DPR, satpam DPR, polisi yang berjaga, pemilik salon esek2, artis ”syariat” dan artis “non-syariat” , produsen film/sinetron, penjual DVD di Glodok, para hakim di PN, lelaki hidung belang dan hidung mancung, pelacur jalanan, polisi tibum/syariat, dan lain2.
8. Untuk sebuah feature, baik mendatangi tempat dimana “kepornoan” itu terjadi setiap hari (tanpa UU) tapi kedamaian tetap berjalan dan kejahatan seksual amat minim. Baik juga mencari contoh tempat/negara dimana pengaturan pornografi dan kesusilaan begitu ketat, tapi menghasilkan masyarakat yang lebih “rusak” dari negeri lainnya (untuk ini harus dibuatkan ukuran2 yang jelas dan objektif, didukung survei yang akurat).
Sekian petunjuk singkat dari kami. Mohon maaf jika ada kekurangan. Billahit Taufik wal Hidayah…
