PEMERINTAH SBY ingin menggunakan pasal karet warisan kolonial hatzaai-artikelen untuk menggagalkan keinginan DR. Rizal Ramli mencalonkan diri dalam pemilihan presiden mendatang.
Begitu analisa KBI yang disampaikan dalam jumpa pers di Pulau Dua Senayan, Jakarta, siang ini (Senin, 27/10). Press release yang dibacakan dalam jumpa pers itu juga dikirimkan kepada myRMnews di Honolulu, Hawaii.
Sekretaris Jenderal Komite Bangkit Indonesia (KBI) Ferry J. Juliantono yang sedang berada di dalam tahanan Mabes Polri dan tengah menanti pengadilan terhadap dirinya mengabarkan kepada teman-temannya bahwa dia diminta menjadi saksi untuk tersangka baru dalam kasus demonstrasi menolak kenaikan harga BBM bulan Mei dan Juni lalu.
Tersangka baru untuk tuduhan sumir itu tak lain dan tak bukan adalah Rizal Ramli, mantan menteri koordinator dan menteri keuangan di era Abdurrahman Wahid yang kini memimpin KBI.
Menurut KBI dalam press release hal ini tidak mengagetkan. Karena sejak awal mereka dapat melihat betapa penguasa jengah dengan manuver KBI dan Rizal Ramli mengkritik keras kebijakan ekonomi pemerintahan SBY.
Rizal Ramli sendiri telah diperiksa dua kali sebagai saksi dengan tersangka Ferry Juliantono bulan Agustus lalu.
Setelah diperiksa dan diberi sinyal kuat akan ikut dijerat bersama Ferry, Rizal Ramli bukannya ngeper. Dia malah semakin kritis terhadap pemerintah.
Sepanjang bulan Ramadhan lalu, misalnya, Rizal Ramli menggelar Safari Demokrasi. Dia bertemu dengan banyak tokoh nasional, mulai dari Abdurrahman Wahid, Taufik Kiemas, Amien Rais, hingga penasihat presiden Adnan Buyung Nasution dan aktivis HAM di Kontras. Dalam pertemuan-pertemuan itu Rizal Ramli dan para tokoh tersebut membahas tentang ancaman terhadap demokrasi di Indonesia.
Pasal karet yang disiapkan untuk Rizal Ramli menurut Jurubicara KBI Adhie Massardi, adalah pasal 160 dan 161 KUHP, yang antara lain menyebut: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan sesuatu perbuatan perbuatan yang dapat dihukum, melawan pada kekuasaan umum dengan kekerasan atau supaya jangan mau menurut peraturan undang-undang atau perintah yang sah yang diberikan menurut peraturan undang-undang, dihukum penjara selama-lamanya enam (6) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500.”
Di masa kolonial Belanda pasal karet ini yang digunakan penjajah untuk membungkam tokoh-tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia seperti Soekarno dan Hatta. Kemudian pada zaman Orba, pasal karet warisan kolonial tersebut kembali dipergunakan untuk membungkam tokoh-tokoh pro-demokrasi yang kritis terhadap pemerintahan otoriter Soeharto.
Adnan Buyung Nasution, Hariman Siregar, AM Fatwa, Jenderal HR Dharsono, Rizal Ramli dan aktivis mahasiswa seangkatannya adalah korban dari pasal karet ini di zaman Orba.
Kecenderungan untuk menggunakan pasal ini memperlihatkan bahwa pemerintahan SBY memiliki karakter yang sama dengan Orba. Itu juga sebabnya kini pemerintahan ini disebut baby Orba yang bila dibiarkan akan menjelma menjadi Orba sejatinya.
“Pasal ini akan dipakai pemerintahan Yudhoyono untuk menjerat Dr Rizal Ramli hanya karena pada acara diskusi terbuka yang dihadiri sejumlah mahasiswa dan aktivis pergerakan di gedung PKBI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, lima bulan yang lalu, kandidat capres Partai Bintang Reformasi ini membeberkan jalan ekonomi pemerintah SBY yang sangat pro-pasar ugal-ugalan dan merugikan rakyat alias neo-liberal.”
Adapun Rizal Ramli dalam diskusi tersebut memaparkan pentingnya mengambil Jalan Baru yang lebih membela kalangan petani dan pengusaha UKM.
Untuk menekankan perbedaan antara Jalan Baru dan jalan neokolonialisme yang diyakini pemerintah, tentu saja Rizal Ramli yang dikenal sebagai ekonom senior tersebut mesti membedah masing-masing jalan. Kritik terhadap jalan neokolonialisme yang dipercaya pemerintah, yang menyebabkan negara ini semakin tergantung pada pasar internasional dan kembali terjajah, inilah yang dianggap sebagai tindakan menghasut.
Bila pengadilan nanti menggunakan pasal karet ini sebagai bahan pertimbangan dalam amar putusan terhadap Rizal Ramli, terlepas apapun vonis yang akan dijatuhkan, otomatis peluang Rizal Ramli mencalonkan diri dalam Pilpres 2009 terganjal.
“Sebab dalam RUU Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, ada persyaratan bahwa Capres dan Cawapres tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih,” demikian simpul KBI.
