KUNJUNGAN Hasan Tiro ke Aceh berakhir sudah.
Foto diambil dari Rakyat Merdeka. Hasan Tiro dan Jusuf Kalla dalam pertemuan di kediaman Wapres JK, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat (24/10).
***
28 Maret 1979. Hasan Tiro memutuskan keluar dari belantara Aceh untuk melakukan pekerjaan penting. Dalam memoarnya, dia menulis bahwa pekerjaan penting yang tak disebutkan itu hanya bisa dikerjakan olehnya.
“Sekarang aku harus pergi ke luar negeri (to go abroad) untuk sementara, untuk melakukan misi yang hanya aku yang bisa melakukannya. Seperti misi memanen padi setiap hari yang hanya kalian yang bisa melakukannya, sementara aku tidak bisa. Sekarang giliranku pergi ke “kampung” terbaik yang dapat membantu menyelesaikan pekerjaan disini. Perjalanan ini tidak lebih berbahaya dari perjalanan yang kalian lakukan setiap pagi. Juga tidak lebih penting dari apa yang telah kalian lakukan. Tetapi, kalian memiliki bidang khusus, aku juga memiliki bidang khususku sendiri. Itu sebabnya, aku harus pergi. Hanya orang gila dan bodoh yang percaya aku tidak akan kembali lagi.”
The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro berisi catatan harian Hasan Tiro selama dia berada di tengah belantara Aceh antara Oktober 1976 hingga Maret 1979. Di dalam buku yang diterbitkan secara mandiri oleh GAM ini, Hasan Tiro juga bercerita tentang alasan politik, ideologi dan ekonomi di balik deklarasi kemerdekaan Aceh, 4 Desember 1976.
Hasan Tiro meninggalkan Kamp Batee Iliek sekitar pukul 14.00 hari itu. Tiga jam kemudian, di bawah guyuran hujan deras dan petir yang menyambar-nyambar, Hasan Tiro dan beberapa pengawalnya sampai di bibir hutan.
Satu jam kemudian, dia tiba di sebuah desa.
“Aku melihat banyak orang yang tampaknya menunggu kedatanganku. Aku mengetahui dari cara mereka menyambutku,” tulis Hasan Tiro.
“Mengapa mereka berdiri di luar (menyambutku)?” tanya Hasan Tiro kepada pengawalnya.
“Mereka mengawasi keamanan jalan untuk kita,” jawab sang pengawal.
“Apakah mereka tahu siapa aku?”
“Semua orang tahu.”
“Tidakkah sudah kukatakan kepada Gubernur (GAM) bahwa tidak ada yang boleh tahu tentang aku (pergi dari Aceh).”
“Ya, tapi semua orang tahu,” kata pengawal ini lagi.
Dari desa itu, Hasan Tiro memboceng sebuah sepeda motor. Mereka berangkat ke arah laut, melalui pusat kota. Semua orang, tulis Hasan Tiro, keluar untuk memberikan salam kepadanya.
Mereka juga melintasi sebuah pos polisi milik Jawa-Indonesia. “Aku menyaksikan dua polisi Jawa dalam seragam mereka dan tiga warga sipil. Mereka terlihat bercakap-cakap.”
Pengemudi sepeda motor berkata kepada Hasan Tiro bahwa ketiga warga sipil itu adalah pendukung GAM yang sedang mengalihkan perhatian polisi.
Tak lama kemudian mereka tiba di pantai. Beberapa pendukung Hasan Tiro mengangkat tubuh sang Wali Nanggroe, dan membawanya ke perahu.
“Mereka ingin memastikan bahwa kakiku tidak basah.”
Tak lama mesin boat dinyalakan, dan perahu menuju Malaysia, membelah Selat Malaka di tengah kegelapan.
***
Hari Minggu waktu Indonesia (26/10) pesawat AirAsia membawa pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kini berusia 83 tahun itu ke Malaysia. Dari Kuala Lumpur ia akan melanjutkan perjalanan ke rumahnya di Swedia.
Hasan Tiro tak berangkat sendirian. Dia didampingi sejumlah mantan petinggi GAM seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan Muzakir Hamid. Ketua Komite Peralihan Aceh (KPA) dan mantan Panglima GAM Muzakir Manaf juga ikut dalam rombongan yang tinggal landas pukul 16.50 dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh.
Sebelum meninggalkan Aceh, dalam pernyataan tertulis Hasan Tiro berpesan agar pemerintah Aceh memprioritaskan stabilitas keamanan dan berkoordinasi dengan semua pihak untuk menjaga perdamaian abadi di Aceh.
“Langkah mendasar yang harus dilakukan adalah mengembalikan rasa aman bagi seluruh masyarakat sehari-hari. Percepatan kehidupan normal, perbaikan ekonomi, dan penegakan hukum secara adil harus dapat segera diwujudkan,” tulis Hasan Tiro seperti dikutip detik.
Hal lain yang dipesankan Hasan Tiro adalah perlakuan yang sama bagi semua rakyat Aceh dari suku apapun. Dia mengingatkan, sejak dahulu Aceh hidup dalam keragaman dan memiliki tradisi dan toleransi yang tinggi.
“Tidak boleh ada lagi diskriminasi. Kita punya tradisi toleransi yang tinggi, mempunyai sikap kosmopolit, ini harus kita wariskan kepada anak cucu kita,” lanjutnya.
Menurut pembantu pribadi Hasan Tiro, Muzakir Hamid, Hasan Tiro merasa gembira dan terharu bisa kembali ke kampung halamannya. Tak lupa, dia menyampaikan permintaan maaf kepada rakyat Aceh yang tak sempat dia kunjungi.
“Insyaallah beliau akan kembali lagi dalam satu tahun kedepan,” demikian Muzakir Hamid.
Adapun Jurubicara KPA Ibrahim Syamsuddin yang juga ikut mengantar sampai Malaysia mengucapkan terima kasih dan menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu sehingga kunjungan Hasan Tiro berjalan lancar.
“Terimakasih setinggi-tingginya kepada pemerintah pusat, Pemerintah Aceh, TNI/Polri, otoritas bandara, IPI/Interpeace, Uni Eropa dan pihak lain yang tidak mungkin kami sebut satu persatu,” kata dia seperti dikutip tempointeraktif.
Menurutnya, suasana yang aman tanpa kericuhan selama kunjungan Hasan Tiro membuktikan bahwa semua pihak memberikan dukungan positif. “Semoga ini menjadi tekad yang berkelanjutan demi kuatnya perdamaian.”
Tak lupa, KPA yang menjadi panitia kunjungan Hasan Tiro menyampaikan permohonan maaf bila ada insiden atau kesalahan dalam mengatur agenda kegiatan Hasan Tiro di Aceh. Dia berharap agar insiden kecil, kalau pun ada, tidak menjadi polemik yang bisa merusak perdamiaan di Aceh.

