LEBARAN kali ini kembali aku tak bersua keluarga.
Bila di rumah Lebaran dimeriahkan rendang, sambal hati, lontong dan opor ayam, di Hawaii Lebaranku dimeriahkan artikel-artikel yang mesti aku baca untuk mata kuliah Indigenous Politics, Politics of the Future, dan Politics of Regions. Selesai dengan satu paper, disusul dengan paper berikutnya, plus abstrak-abstrak untuk final paper.
Sungguh tak enak berada jauh dari keluarga di saat Lebaran. Apalagi kini, setelah Tafta lahir. Yang bisa kulakukan hanya melihat wajahnya dari foto-foto yang dikirimkam Intan. Ingin bertemu Intan, tapi tak bisa. Yang bisa kulakukan hanya mengirimkan tanda-tanda cinta, entah lewat pesan-pendek yang menghubungkan T-Mobile dan Mentari, atau pembicaraan berjam-jam lewat Skype dan e-mailing lewat Yahoo. Juga MoneyGram (yang ini untuk mengirimkan THR).
Kemarin pagi, Senin waktu Hawaii (29/9) atau Selasa waktu Indonesia, Intan kirim SMS.
“Suamiku, aku rindu sekali. Dalam keseharian yang seringkali sendiri, sesekali hati pula bertanya: harus menjadi apakah aku agar menjadi sempurna. Semua memang tak terjawab. Namun kehadiran empat teman sejati di dunia ini cukuplah menjadi penyempurna jiwa raga. Dimana kurasakan segala hal diantaranya, dan perlahan namun pasti tumbuh menguat bersama. Semoga Allah SWT selalu membuka pintu maaf atas segala khilafku. Maaf lahir dan bathin. Dari cinta, Bunda.”
Selanjutnya, Intan mengirimku foto-foto dari rumah. Foto di atas dikirimkan Intan beberapa waktu lalu. “Susah nih ngumpulin 3 anak begini. Apalagi si Mumu,” tulis Intan dalam e-mailnya.
Berikut ini adalah bebeapa foto mereka, sebelum dan saat Lebaran.
Farah dan Timur
Farah dan mainan baru agar dia mau rambutnya dipotong.
Timur dan Jalan Kutu
Intan dan Tafta
Timur dan Tafta






Alhamdulillah, ada orang Indonesia yg sudah bisa mengecap nikmat hidup di dunia. Makan enak,tidur nyenyak dan suasana hati gembira yg selalu menyeruak. Ingat, masih banyak orang Indonesia yg belum bisa mengecap nikmat seperti itu. Banyak yg masih makan dari makanan ditempat sampah, tidur hanya beralas kertas dan hati yg senantiasa resah ketakutan karena mendapat perlakuan semena-mena dari para aparat negara. Janji-janji perubahan yg dibawa intelektual reformis ternyata hanya sebatas untuk mendapatkan jabatan atau demi tawar-menawar politik dng motif ekonomi untuk kepentingan pribadi.
@anxoin
“Janji-janji perubahan yg dibawa intelektual reformis ternyata hanya sebatas untuk mendapatkan jabatan atau demi tawar-menawar politik dng motif ekonomi untuk kepentingan pribadi.”
bila demikian, bukan “intelektual reformis” istilah yang tepat untuk mereka. “intelektual najis” mungkin…