TIDAK hanya isi berita, gambar yang tersaji berupa sosok Sukanto Tanoto yang tengah melakukan akrobat sambil “berjingkrak” dinilai Majelis juga menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.
Dikutip dari Hukumonline.
“Innalillahi wa innaillaihi raji’un,” seru seorang pria di belakang ruang sidang. Mengenakan kaos warna hitam bertuliskan “Lawan Pembredelan Gaya Baru”, pria itu kemudian memprakarsai aksi tabur bunga berwarna-warni khas bunga untuk pemakaman. Rekan-rekannya –sebagian mengenakan kaos yang sama- turut menabur bunga. Dalam sekejap, ruang sidang pun bak taman pemakaman umum.
“Putusan ini adalah lonceng kematian bagi kebebasan pers di negeri ini,” pekik Hendrayana, Direktur Eksekutif LBH Pers, Hendrayana seperti halnya pria berkaos hitam itu tengah mengekspresikan kekecewaan atas putusan yang baru saja dibacakan oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat (9/9).
Diketuai oleh Panusunan Harahap, Majelis mengabulkan sebagian dari gugatan yang diajukan oleh PT. Asian Agri dkk –total 15 penggugat yang semuanya bagian dari AAG-. PT. Tempo, menurut Majelis, terbukti melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) karena penghinaan. Oleh karenanya, Tempo dihukum membayar ganti kerugian sebesar Rp50 juta. Tempo juga diharuskan menyampaikan permintaan maaf yang materi dan redaksionalnya ditentukan oleh para penggugat di Majalah Tempo, Koran Tempo, dan Harian Kompas selama tiga edisi berturut-turut. Jika lalai, Tempo dapat dikenakan uang paksa (dwangsom) sebesar Rp1 juta per hari.
Putusan ini merupakan buah dari pemberitaan Majalah Tempo edisi XV, 21 Januari 2007 dengan judul “Akrobat Pajak”. Di dalamnya, Tempo menyajikan hasil liputan investigasi tentang dugaan penggelapan pajak yang dilakukan Asian Agri Group (AAG) yang nilainya mencapai Rp1,3 triliun. Atas pemberitaan itu, AAG menyampaikan protes dalam bentuk hak jawab dan hak koreksi, sebanyak tiga kali. AAG lalu mengadu ke Dewan Pers melalui surat 27 Desember 2007.
AAG menilai berita tersebut tidak akurat serta tidak menghormati asas praduga tak bersalah sehingga merugikan martabat dan nama baik para penggugat. Tempo memang melayani dan mempublikasikannya. Namun, AAG merasa tidak puas karena hak jawab dan hak koreksi tersebut ditayangkan hanya sebagian. Penempatannya pun hanya di rubrik surat pembaca. Tidak puas, AAG mendaftarkan gugatan PMH terhadap Tempo pada 14 Januari 2008 ke PN Jakarta Pusat.
Dalam persidangan, Tempo menyangkal segala tuduhan penggugat. Tempo membantah mencemarkan nama baik para penggugat, karena yang diberitakan justru pribadi Sukanto Tanoto –pemilik Raja Garuda Mas atau AAG-. Berita berjudul “Akrobat Pajak” itupun hanyalah bentuk implementasi atas hak menyampaikan pendapat dan pikiran yang dilindungi oleh undang-undang. Tempo mengaku hanya menjalankan fungsi pers sebagai kontrol sosial sebagaimana diatur dalam UU Pers.
Majelis berpendapat pemberitaan Tempo didasarkan pada data dan informasi yang tidak akurat dan proporsional. Pernyataan adanya penyelewengan pajak dalam berita Tempo, menurut Majelis, mendahului proses hukum yang tengah berjalan dan mengarah pada “Trial by the Press” (penghakiman oleh pers). Majelis menilai pemberitaan Tempo yang diantaranya memuat kata-kata “penggelapan pajak” atau “penyimpangan pajak” adalah kesimpulan dan opini. Padahal, berdasarkan kode etik jurnalis, wartawan tidak boleh mencampur-adukan fakta dan opini.
Tidak hanya isi berita, gambar yang tersaji berupa sosok Sukanto Tanoto yang tengah melakukan akrobat sambil “berjingkrak” juga dinilai Majelis sebagaimana juga keterangan ahli Hernani Sirkit alias Sirkitsyah, telah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Istilah “akrobat” pun dinilai tidak tepat. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majelis berpendapat “Akrobat Pajak” dapat diartikan mempermainkan pajak. Suatu hal yang belum terbukti secara hukum, benar dilakukan oleh AAG.
Rujukan yurisprudensi
Dalam membuktikan apakah Tempo telah melakukan PMH atau tidak, Majelis tidak hanya mendasarkan pada 1365 KUHPerdata. Dengan dalih Pasal 1365 kurang terperinci, Majelis akhirnya memakai sejumlah yurisprudensi sebagai referensi. Salah satunya, Yurisprudensi Hogeraad 31 Januari 1919. Putusan era kolonial ini mendefinisikan PMH tidak hanya meliputi bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif seseorang, tetapi juga melanggar norma kesusilaan, asas kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati.
Majelis juga merujuk Putusan PT DKI Jakarta 17 April 1971 dalam perkara Adam Malik (Menlu) vs Mingguan Bebas terkait berita berjudul “Adam Malik Boneka Subversi”. Dalam putusan ini, majelis menyatakan sekalipun pers punya fungsi kontrol tetapi bukan berarti pers bisa seenaknya atau “semau gue”, karena kebebasan pers tidak mutlak.
Beberapa rujukan yurisprudensi lainnya antara lain Putusan MA No. 1265 tahun 1984 Ny. Djoko Soetono vs Majalah Selekta “Kasus Pengemudi Taksi Blue Bird”, Putusan PN Jakarta Selatan dalam perkara Akbar Tandjung vs Harian Rakyat Merdeka, memuat gambar Akbar dengan judul “Akbar Segera Dihabisi Golkar, Nangis Darah”. Dan Putusan MA dalam perkara mantan Presiden Soeharto vs Majalah Times edisi 24 Mei 1999.
“Dari putusan-putusan, sekalipun pers bebas menyampaikan pendapat dan fungsi kontrol, tetapi kalau ada penghinaan atau pencemaran nama baik atau melampaui, maka perusahaan pers dan wartawan yang bersangkutan itu bisa dianggap melakukan PMH,” simpul Majelis.
“Membunuh” atau mengawal?
Kubu Tempo langsung menyatakan siap banding atas putusan Majelis. Penasehat hukum Tempo Hendrayana menyayangkan sikap Majelis yang mengabaikan sejumlah fakta persidangan. Majelis, lanjutnya, serta-merta menggunakan data-data yang diajukan penggugat tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu. Bagi Hendra, putusan ini menggambarkan sikap Majelis yang lebih mementingkan kepentingan pribadi seseorang daripada kepentingan publik.
“Dengan putusan ini, berarti semua wartawan tidak boleh memberitakan peristiwa hukum yang belum ada putusan pengadilan,” tukasnya. “Ini merupakan precedent buruk bagi kebebasan pers.”
Pimpinan Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad berpendapat Majelis sama sekali tidak paham kerja jurnalistik. Hal tersebut terlihat ketika Majelis membandingkan perkara ini dengan perkara Adam Malik vs Mingguan Bebas yang murni penghinaan pribadi. “Hakim bekerja tidak sesuai dengan kepentingan publik, karena Asian Agri sudah jelas melakukan penggelapan pajak yang merugikan negara triliunan rupiah,” ujarnya. Toriq menilai putusan ini adalah kemunduran besar dalam konteks kebebasan pers.
Sementara, Penasehat Hukum AAG Hinca Panjaitan berpendapat putusan Majelis sudah sesuai dengan UU Pers. Ia pun membantah anggapan putusan ini “membunuh” kebebasan pers. Putusan ini, menurut Hinca, justru dalam rangka mengawal kebebasan pers agar tidak kebablasan. Pers tidak seharusnya memberitakan sesuatu yang belum pasti secara hukum. Menduga sekalipun, menurut Hinca, tidak boleh dilakukan kecuali bersumber dari keterangan atau pernyataan dari pihak yang berwenang.
“Putusan ini justru baik bagi kebebasan pers untuk mengingatkan agar pers jangan kelewatan dalam melakukan fungsinya,” pungkas Hinca.
Putusan PN Jakarta Pusat setali tiga uang dengan Putusan PN Jakarta Selatan yang memenangkan gugatan PT. Riau Andalan Pulp and Paper terhadap Tempo beberapa waktu lalu. Mengekpresikan kekecewaan, Tempo beserta sejumlah aktivis kebebasan pers pun menggelar aksi teatrikal, seorang bertoga hakim dengan palu raksasa memukul-mukul seorang pekerja pers. [Hukumonline]
