2012 Indonesia Bisa Surplus Energi

BBM naik tinggi, susu tak terbeli, orang pintar cabut subsidi.” Begitu tulis Iwan Fals dalam lagunya, Galang Rambu Anarki, beberapa tahun lalu.

Keadaan itu juga yang kini lagi-lagi dialami masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tahun, pemerintah telah tiga kali menaikkan harga BBM. Awalnya bulan Maret 2005, diikuti Oktober 2005 dan yang terakhir Mei 2008. Rentetan kenaikan harga BBM ini tak diragukan lagi telah mempersulit kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.

Di tengah persoalan yang muncul dari kebijakan cabut subsidi BBM ini, masyarakat kembali dihanyutkan wacana energi alternatif. Misalnya, ada blue energy yang bulan Desember 2007 lalu telah dicanangkan Presiden SBY sebagai sumbangan terbesar bangsa Indonesia untuk dunia. Belakangan, blue energy ini menjadi bulan-bulanan karena tak kunjung tiba, dan ditengarai sebagai sebuah kebohongan besar. Juga ada wacana pembangkit listrik tenaga nuklir dan listrik 10 ribu MW.

Seberapa besar potensi energi Indonesia? Untuk mengetahui potensi energi yang dimiliki negara ini, myRMnews mewawancarai salah seorang praktisi energi Indonesia, Triharyo Soesilo.

Menurut CEO PT Rekayasa Industri ini, Indonesia memiliki potensi energi alternatif yang luar biasa. Sayang, belum semuanya terpetakan dan digarap dengan serius.

Berikut petikan wawancaranya.

Benarkah kita mengalami krisis energi?

Semua negara harus memaksimalkan apapun yang dia punya. Yang tidak punya sumber daya alam seperti Singapura, misalnya, memaksimalkan posisinya sebagai strategic point. Mereka membangun pelabuhan dan bandara nomor satu. Atau Swiss yang mengembangkan industi cokelat dan perbankan. Apalagi bila negara itu memiliki begitu banyak sumber daya alam, seperti Indonesia. Sudah sepatutnya ia menguasai sumber daya alamnya, mengkapitalisasi dan memberikan kesempatan kepada para insinyurnya untuk mengembangkang inovasi dan terobosan baru.

Pertanyaan utama masyarakat kita saat ini adalah, apakah benar minyak bumi Indonesia habis? Tidak benar. Minyak kita masih ada, misalnya di Cepu. Seharusnya 165 ribu barrel sudah ready to use. Tetapi sejak 2005 tidak dikerjakan seperti proyek 10 ribu MW listrik. Tahun ini blok Cepu baru tender, sehingga baru bisa dipetik hasilnya antara 2011 dan 2012. Jadi bayangkan lost opportunity kita. Kalau dikerjakan dengan serius dari 2005, mungkin kini kita sudah surplus minyak dan tidak harus keluar dari OPEC.

Cepu ini adalah contoh yang dekat untuk mengatasi apa yang disebut sebagai krisis minyak bumi. Pertanyaannya kenapa kok lama? Mungkin saja investasinya belum dikonfirmasi secara cepat oleh BP Migas, atau mungkin ada persoalan akuisisi lahan untuk pipa dan sebagainya. Intinya, persoalan di Cepu itu masih menggunakan track business as usual sehingga lambat. Coba dikerjakan seperti proyek 10 ribu MW listrik, mungkin kita sudah surplus.

Apa sumber energi lain yang bisa kita manfaatkan?

Geothermal atau panas bumi kita salah satu yang terbesar di dunia. Upaya mengoptimalkan panas bumi ini sudah ada. Tetapi masih berkutat pada kebijakan, misalnya soal bebas biaya masuk dan WKP (wilayah kerja pertambangan) dengan asumsi semua aturan ini cukup, sehingga pebisnis akan jalan dan develop sendiri. Tetapi faktanya tidak. Dibutuhkan tokoh-tokoh pendorong seperti Pak JK untuk proyek 10 ribu MW listrik, misalnya. Intinya, kebijakan itu harus dikawal. Kalau pendekatan yang dipakai business as usual dan birokratis, ujung-ujungnya akan merugikan negara.

Bisa dijelaskan keunggulan panas bumi?

Panas bumi kita tersedia secara gratis, bisa dimanfaatkan, renewable, environmentally friendly. Banyak yang tidak tahu kapasitas panas bumi kita 27 ribu MW. Ini sama dengan 1.080.000 barrel minyak per hari atau sama dengan seluruh produksi minyak bumi Indonesia hari ini. Nah, pemerintah perlu mendorong industrialisasi panas bumi dan membangun koordinasi yang kuat.

Panas bumi seperti minyak, kalau mau ngebor harus cari WKP. Tadinya pemerintah yang menguasai, lewat Direkorat Jenderal Mineral, Batubara dan Panas Bumi di Kementerian ESDM. Lalu keluar PP 57/2007 setelah empat tahun. Dari waktu yang begitu lama, ada pertanyaan, kok kelihatan tidak ada priority and interest.

Apakah ini karena tidak ada kebijakan yang jelas?

Saya tidak menyalahkan pemerintah. Saya selalu menyalahkan engineer atau insinyur. Kita butuh engineer dan praktisi yang mengadopsi teknologi solusi dan mengorganisir teknologi itu ke publik. Kebijakan keluar karena ada motor dan driver. Dulu kita punya lima atau enam motor seperti ini di level menteri.

Dalam kenaikan harga BBM baru-baru ini, apakah pemerintah punya solusi yang memadai?

Menurut saya, solusi alternatif atau solusi selain BLT tidak ada. Semua orang di dunia menyadari bahwa BBM memang harga harus naik. Tetapi mestinya yang dilakukan bukan hanya penyaluran BLT dan KUR (Kredit untuk Rakyat). Dalam keadaan seperti ini, orang akan bertanya apa yang telah dilakukan untuk memenuhi suplai energi. Apakah kita sudah mendorong energi alternatif lain, seperti panas bumi dan gasifikasi batubara, atau belum.

Pemerintah juga pernah mendorong penggunaan Bahan Bakar Nabati (BBN)…

Sebetulnya track kebijakan BBN ini sudah bagus di tengah jalan. Ada inpres dan keppres. Tetapi di saat harga CPO (crude palm oil) tinggi, proyek ini berhenti. Padahal pebisnis dan praktisi tidak hanya bersandar pada CPO untuk biofuel. Kita sudah bikin jarak pagar kan. Dan di tengah masyarakat kesadaran ini pun sudah tumbuh. Para peneliti dan pelaku pasar telah mengembangkan. Bahkan ada program desa mandiri energi segala. Kini kita punya 121 ribu hektar tanaman jarak pagar di seluruh negeri.

Pihak kami pun membangun 28 perusahaan pembibitan jarak pagar bekerja sama dengan IPB. Kami telah mengembangkannya dengan dengan perusahaan penambang batubara yang harus mereboisasi area tambang mereka. Kalau di-push pemerintah, hasilnya bisa besar. Kenapa tidak jalan. Padahal uang sudah ada, bibit sudah ada. Program CSR (company social responsibility) juga ada.

Contoh dekat BBN ini adalah yang dilakukan Indocement Tunggal Prakarsa. Batu kapur yang habis ditambang kini dihijaukan dengan jarak pagar yang bibitnya dari kami. Sekarang produknya dijadikan bahan baku polio ester dan diekspor ke Malaysia. Tidak jadi biodiesel, karena ternyata lebih mahal.

Bagaimana dengan teknologi lain untuk biofuel, seperti ethanol, misalnya…

Sumber ethanol hanya ketela dan tetes tebu. Sementara masalah energi dimanapun berkaitan dengan ketersediaan bahan baku. Misalnya pembangkita listrik dari jerami dan sekam padi, atau cangkang sawit. Persoalannya adalah bagaimana mengumpulkannya dalam jumlah yang cukup. Kalau lebih mahal biaya yang dikeluarkan daripada hasilnya, kan jadi tidak ekonomis. Itu juga yang terjadi dengan blue energy. Bila biaya yang digunakan untuk membakar unsur hidrogen lebih mahal, untuk apa.

Berbeda dengan panas bumi yang apinya sudah ada di dalam perut bumi, dan airnya dari hujan. Output-nya adalah steam atau uap. Panas bumi Indonesia adalah one of the best in the world.

Bagaimana dengan risiko?

Semua jelas ada risiko. Bikin nuklir juga ada risiko. Batubara pun ada resiko. Tetapi risiko bisa diatasi. Yang paling penting adalah manfaat dan nilai ekonomi.

Menurut Anda, dari sejumlah energi alternatif di atas, mana yang layak dijadikan prioritas agar kita fokus?

Panas bumi dan gasifikasi batubara. Sekarang soal gasifikasi batubara. Ketika diembargo dunia karena politik apartheid, termasuk tidak boleh mengimpor BBM, Afrika Selatan mengubah batubara menjadi solar dan bensin. Kini perusahaan minyak Afrika Selatan itu, namanya Sasol, jadi raksasa.

Begitu juga waktu terjadi krisis minyak di Amerika di era 1970-an menyusul perang Arab-Israel. Pemerintah Amerika meniru Sasol dengan membangun industri gasisfikasi batubara. Sekarang di China, mulai 1990-an. Mereka menyadari negeri itu tidak punya gas alam dan minyak bumi dalam jumlah yang cukup memadai. Akhirnya mereka mengembangkan batubara. Saat ini 60 persen pupuk China dihasilkan oleh energi batubara. China memproduksi 40 juta ton pupuk, bandingkan dengan Indonesia yang hanya memproduksi lima juta ton pupuk. Gas dari gasifikasi batubara ini juga yang mereka alirkan ke rumah-rumah, menjadi gas kota.

Jadi menurut hemat saya kita perlu secara massal mendorong dua energi altrnatif ini, panas bumi dan gasifikasi batubara.

Bagaimana dengan pembangkit listrik tenaga nuklir?

Belum. Masih tertalu sulit. Sekali lagi, kalau bicara tentang energi kita harus bicara tentang bahan baku yang tersedia. Nah soal nuklir, apa bahan bakunya? Uranium. Kita tidak punya uranium. Hal lain adalah nuklir berbeda dengan panas bumi yang tidak punya waste. Nuklir punya waste, dan akan kita buang kemana. Lagi pula Indonesia adalah negara yang kerap kena gempa. Kalau ada gempa, bagaimana? Risikonya semakin tinggi.

Bagaimana pandangan Anda mengenai posisi pihak asing di tambang-tambang migas kita?

Begini, saya selalu mengajak para engineer agar be professional. Dua perusahaan minyak yang dapat disebut besar di Indonesia adalah EMP (Energi Mega Persada) dan Medco Energi. Seperti juga Rekayasa Industri. Di bisnis ini kita harus menunjukkan profesionalitas dan comfort level kepada stakeholder. Sayangnya icon pertama, EMP lost di Lapindo Brantas. Mereka ingin mencari profit sebesarnya, hingga terjadi case. Apakah karena proteksi yang kurang baik, atau bencana alam, kita tidak tahu. Medco pun begitu, diharap dapat menjadi icon secara utuh. Tapi belum.

Di dunia EPC (engineering, procurement, and construction), kami berusaha setengah mati untuk tidak gagal, dan sudah ada comfort level. Misalnya perusahaan EPC nasional sudah bisa bikin kilang dan sebagainya. Sayangnya perusahaan nasional di bidang migas belum memperlihatkan hal seperti itu. Sehingga ketika pemerintah memberi kesempatan, gayung tak bersambut. Mungkin juga pemerintah masih perlu membina. Lihat saja Medco mencari pekerjaan di tempat yang jauh. Padahal mungkin Pertamina punya banyak sumur yang dapat diolah.

Apakah ini karena urusan politik?

Saya tidak tahu. Tetapi saya memahami, bahwa sebagai praktisi dan pebisnis pun kita harus jadi negawarawan. Intinya harus profesional. Engineer kita sebenarnya sudah bisa melakukan survei dan pengeboran. Banyak di antara mereka yang bekerja di Timur Tengah.

Jadi menurut pandangan optimis Anda, kapan kita bisa menyelesaikan proses pasokan energi ini?

Yang paling cepat menghasilkan adalah blok Cepu. Kalau itu selesai, kita akan jadi eksportir. Kemungkinan ke arah itu sangat besar. Paling lama tiga tahun.

Jadi kendalanya apa?
Tidak ada yang menekan dan mendorong. Semuanya menggunakan model business as usual. Kita juga kurang memperhatikan kemampuan kita di bidang lain. Misalnya, mengapa produk listrik adalah komoditas ekspor non-migas terbesar kedua yang dimiliki Indonesia. Kita ini mengekspor kabel, travo, dan switch gear. Itu data BPS. Harusnya Departemen Perindustrian dan Pak SBY mengeksploitasi hal itu. Harus dipelajari, ada apa ini.

Ternyata, yang terjadi adalah industri itu merupakan industri mata rantai. Tembaga dari Freeport. Lalu dikirim ke Gresik yang jadi smelter, selanjutnya ke pabrik kabel di Cilegon untuk dijadikan kabel gulung the best in the world dengan harga kompetitif. Model ini mestinya di-copy dan diterapkan untuk sektor lain.

Benarkah pebisnis di bidang energi butuh back up politik?

Sebenarnya sedikit. Rekayasa Industri kok bisa bikin empat pembangkit listrik? Ini karena kami memanfaatkan UU Panas Bumi dan UU Jasa Konstruksi. Itu saja senjatanya. Dengan dua UU ini saja kita bisa mengatakan kepada mereka, ”Awas ya, kamu harus pakai perusahaan nasional. Kalau tidak melanggar UU.”

Mereka takut. Karena itu terjadilah persaingan, kita ikut tender, dan harga pun murah. Harga panas bumi tadinya mahal. Tapi karena pasarnya dibuka, maka kini jadi murah, dan setelah melihat peluangnya pihak perbankan pun mau mendanai. Ini tanpa woro-woro dari pemerintah. Bayangkan kalau ada push.

Kita juga merasa diuntungkan oleh gerakan KPK (Komisi Pemberantas Korupsi). Gerakan ini turut membantu agar semua proses menjadi bersih dan terbuka. Pertamina dan PGN pun sekarang senang mendapat partner Rekayasa Industri, karena tidak pernah punya persoalan hukum dan dianggap salah satu yang bersih dan profesional.

2 Replies to “2012 Indonesia Bisa Surplus Energi”

  1. gasisifikasi batubara solusi terdekat,mengapa belum dimulai?

    butuh political will atau political pressure, rasanya ini bukan sekedar cara pandang , tapi solusi yang yang sudah patut diketengahkan, energi murah dijual keluar energi mahal dibakar untuk pembangkit -pembangkit diesel tua dan boros
    mudah- mudah an cara pandang ini masih dianggap waras dan tidak aneh , maju terus pak…..

Leave a comment