Minggu Pertama yang Menyesakkan Dada

SEMINGGU sudah saya berada di Jakarta. Seminggu pertama yang menyesakkan dada. Kehadiran saya disambut rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Baru mau dinaikkan, kata para tetangga, harga-harga sudah merangkak naik ke langit ketujuh. Sebutir telur di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi Barat dijual seharga 1.000 rupiah. Sementara sebungkus mie instan dijual 1.500 hingga 1.700 rupiah. “Intel”di depan kantor sudah dijual seharga 4.000 rupiah satu mangkuk.

Hari Rabu (21/5), Menteri Keuangan Sri Mulyani memastikan kenaikan harga BBM “hanya” sebesar 28,7 persen. Lebih rendah dari kabar yang beredar sebelumnya, 30 persen.

“Angka itu sudah final,” kata Sri Mulyani yang mantan direktur International Monetary Fund untuk kawasan Asia Pasifik itu.

Masih menurut Ani, begitu ia biasa disapa, pengumuman resmi kenaikan harga BBM akan disampaikan langsung oleh Pre­siden SBY setelah memastikan skema penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang belakangan ini diplesetkan menjadi Bantuan Langsung Tewas.

Dengan persentase kenaikan sebesar itu, maka harga premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter, harga solar naik dari Rp 4.300 menjadi Rp 5.500 per liter, serta minyak tanah dari Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.

Dapat dipastikan, kenaikan harga BBM nanti akan kembali mendongkrak harga berbagai barang kebutuhan hingga melampaui langit ketujuh.

Seperti yang lalu-lalu, pemerintah berpendapat bahwa kenaikan harga BBM dilakukan untuk menyelamatkan anggaran belanja negara menyusul kenaikan harga minyak di pasar dunia. Demi menyelamatkan anggaran belanja tahun 2008 yang belum digunakan itu, pemerintah (lagi-lagi) memilih untuk mengurangi “subsidi BBM” bagi rakyat.

Benarkah?

Tidak, kata sejumlah ekonom seperti Kwik Kian Gie, Rizal Ramli, dan Fuad Bawazier yang pernah menjadi menteri sehingga mengetahui seluk beluk pengelolaan anggaran belanja negara dan proses produksi minyak Indonesia.

Istilah subsidi harga BBM untuk rakyat pun sebenarnya salah dan menyesatkan. Yang disubsidi, sebut Rizal Ramli, sebetulnya adalah ketidakmampuan Pertamina untuk meningkatkan produski BBM per hari. Andai saja Pertamina tidak tekor 300 ribu barrel minyak per hari, maka Indonesia akan menangguk untung.

Kenaikan harga BBM di pasar dunia pun mestinya haruslah disambut Indonesia dengan rasa sukacita. Bukankah Indonesia adalah produsen minyak. Bila kini Indonesia menjadi importir minyak, itu pun karena manajemen produksi minyak Indonesia berantakan, dan tambang-tambang minyak bumi dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing.

Untuk menyelamatkan anggaran belanja negara, sebut Rizal Ramli, ada cara lain. Misalnya, menghilangkan subsidi terhadap bank rekap, buntut dari krisis ekonomi tahun 1998, juga menegosiasi pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri yang banyak dikorupsi.

2 Replies to “Minggu Pertama yang Menyesakkan Dada”

Leave a comment