Pikirkan Komisi, Pilih Subsidi Petani Luar Negeri

MESTINYA Indonesia dapat menangguk untung besar di tengah kenaikan harga pangan dunia. Namun yang terjadi sebaliknya. Hingga kini pemerintah masih lebih senang mengimpor beras. Maklum, ada komisi di balik setiap transaksi impor.

Kritik atas hobi impor beras ini kembali disampaikan Ketua Umum Komite Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli ketika menghadiri Deklarasi Barisan Bangkit Indonesia (BBI) Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, kemarin. BBI adalah organ yang membantu KBI menjalankan berbagai program penguatan ekonomi rakyat di daerah-daerah.

Menurut Rizal yang dijuluki Sang Lokomotif Perubahan, harga produk pertanian di pasar internasional yang sedang tinggi mestinya dapat digunakan pemerintah untuk meningkatkan pendapatan petani. Namun sayangnya, karena kebijakan pemerintah sejak awal tidak pro-petani, maka momentum tersebut bukan hanya hilang, tetapi malahan ikut menambah penderitaan petani dan rakyat yang harus membeli beras dengan harga yang lebih tinggi.

Di pasar internasional, kini harga beras mencapai 800 dolar per ton atau sekitar Rp 7.200 per kilo. Sementara HPP petani di tanah air sebesar Rp 2.000 per kilo. Ini artinya, Indonesia akan jauh lebih untung bila membeli beras dan gabah dari petani di dalam negeri.

“Tapi karena lebih memikirkan komisi 10 sampai 20 dolar per ton, pemerintah memilih impor sebanyak-banyaknya. Saya tahu benar ada praktik seperti ini,” kata bekas Kepala Bulog itu.

Itu sebabnya, ujar Rizal, ketika menjadi Kabulog dan Menko Perekonomian serta Menteri Keuangan, ia memangkas praktik impor beras. “Saya tidak mau menggunakan uang rakyat untuk mensubsidi petani asing,” ujarnya.

Masih menurut Rizal, setiap tahun Indonesia mengimpor 2 juta ton beras, 1,6 juta ton gula, 1,8 juta ton kedelai, 4,5 juta ton gandum, 1,2 juta ton jagung, 1 juta ton bungkil untuk makanan ternak, dan 850 ribu ton singkong untuk makanan ternak.

“Ini sangat tidak masuk akal. Sebagai negara yang subur makmur, pejabat kita sibuk mengimpor bahan pangan dan berbagai produk pertanian, sehingga petani dan sebagian besar rakyat Indonesia terpuruk nasibnya. Semuanya karena komisi. Semua ini sekali lagi membuktikan pemerintah pro-impor, pro-petani asing. Bukan pro-petani lokal. Orang pintar kok malah bikin sulit,” tukas Rizal.

Di sisi lain, dia mengakui pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk paket pangan sebesar Rp 1,2 triliun. Namun, ternyata sekitar Rp 800 miliar justru dinikmati importir produk pangan. Sedangkan petani maksimal hanya memperoleh Rp 200 miliar.

Rizal menyarankan pemerintah untuk segera banting setir menciptkan kebijakan yang benar-benar melindungi petani dan produk pertanian Indonesia. Jika langkah ini dilakukan, dia yakin, dalam tempo setahun sebagian besar kesulitan pangan yang tengah dihadapi rakyat Indonesia dapat diatasi.

One Reply to “”

Leave a comment