INILAH yang dikhawatirkan banyak pendukung Partai Demokrat. Pertarungan dua kandidat presiden dari partai berlambang keledai itu akan berlangsung lama, sampai babak terakhir yang akan digelar di negara bagian Montana tanggal 3 Juni.
Pertarungan panjang seperti ini akan menghabiskan begitu banyak energi dan emosi. Bukan hanya energi dan emosi kedua kandidat, Senator New York Hillary Clinton dan Senator Illinois Barack Obama, tetapi juga energi dan emosi pendukung mereka masing-masing.
Juga dimuat di myRMnews.com.
Aksi saling serang di antara keduanya kemungkinan besar akan semakin seru setelah primary election di Texas, Ohio, Vermont, dan Rhode Island, hari Selasa kemarin.
Menyusul kekalahan dalam Crucia Tuesday, Obama yang selama ini cenderung bermain low profile, jaim alias jaga wibawa, dan memilih bertahan, kelihatannya akan mengubah sedikit banyak gaya tarungnya. Obama sudah harus main keras, tidak lagi sekadar mengutak-atik dunia gagasan. Ia harus menambah kharismanya dengan keberanian untuk berpolemik, menukik pada persoalan konkret yang dihadapi masyarakat Amerika Serikat dan cara menyelesaikan persoalan itu.
Dunia gagasan akan selamanya menarik. Tetapi Obama harus segera menyadari bahwa mengutak-atik ide adalah satu-satunya jalan yang paling pas untuk safety player.
Sementara Hillary kelihatannya akan semakin gencar dengan taktik dan gaya menyerang yang telah dikembangkannya sejak ia menderita kekalahan di Super Tuesday bulan lalu. Dia sengaja memilih jalan provokasi, menyudutkan, menghina, dan mengejek, untuk memancing emosi Obama, juga untuk menciptakan image miring tentang Obama di kalangan pendukung putra Hawaii itu.
Gaya tarung Hillary terbukti berhasil dan telah mengubah sedikit jalan cerita pertarungan mereka. Hillary beroleh kemenangan di Ohio, Texas, dan Rhode Island. Walau kemenangan itu hanya tipis saja, namun energi yang dimunculkannya luar biasa. Istri mantan presiden Bill Clinton yang selama sebulan terakhir kerap uring-uringan itu, kini sudah bisa kembali mengaum keras layaknya singa betina di atas panggung, di hadapan para pendukung.
Dan ini semua berbahaya untuk perubahan di Amerika. Perubahan yang tidak hanya diinginkan rakyat Amerika, tetapi juga diidam-idamkan warga dunia.
Kubu Partai Republik yang gemar perang sudah mulai mengkonsolidasi diri untuk menghadapi etape berikutnya, pemilihan presiden bulan November. John McCain, veteran perang Vietnam dan Senator Arizona yang kini jadi orang terkuat di Partai Republik, sudah mulai memikirkan siapa tokoh yang akan mendampinginya dalam pemilihan presiden. Pengurus Partai Republik di semua negara bagian pun sudah mulai mengatur kembali barisan mereka, menunggalkan pilihan hanya pada McCain.
Dalam jamuan makan malam dengan Putri Maha Chakri Sirindhorn dari Thailand pekan lalu, saya bertemu aktivis perempuan Hawaii. Vina namanya, wanita paruh baya keturunan Filipina. Buatnya, hanya Hillary Clinton yang dapat membawa perubahan di Amerika.
Sebegitu fanatiknya pada Hillary, sampai-sampai ia mengatakan tidak akan memilih Obama bila Hillary kalah.
Bukankah itu akan merugikan Partai Demokrat dan agenda perubahan yang selama ini dibicarakan, tanya saya.
Vina mengangguk. “Penjelasannya memang tidak akan memuaskan. Tapi saya tidak akan memilih Obama,” katanya lagi. Dia yakin banyak temannya, para hardliner di kubu Hillary, yang juga punya jalan pikiran seperti itu.
