Buntut Misteri Dana Tsunami

KARYAWAN Yayasan Acehkita mempertanyakan akuntabilitas dana kemanusiaan yang dikelola yayasan itu. Sebagai jawaban, para karyawan, termasuk redaksi situs berita Acehkita dan Majalah Acehkita, kemarin diusir dari kantor yayasan di Jalan Bojonegoro, Menteng.

Posting lama dari Rakyat Merdeka, 15 September 2005.

“Dewan pendiri yang terdiri dari Todung Mulya Lubis, Otto Syamsudin Ishak, Smita Notosusanto, Binny Buchori, dan Debra Yatim, telah memutuskan menutup yayasan dan meminta semua pekerja yang tergabung dalam Serikat Pekerja Acehkita (Sepak) untuk meninggalkan kantor. Bahasa mudahnya adalah mengusir semua pekerja Sepak,” tulis para karyawan terusir itu dalam rilis mereka.

Acehkita berdiri dua tahun lalu, dua bulan setelah pemerintah pusat memberlakukan Status Darurat Militer di Aceh. Dalam manifesto Acehkita tertulis bahwa editorial policy media itu berorientasi pada informasi yang mendukung penyelesaian konflik di Aceh melalui cara-cara damai.

Mereka juga menolak kekerasan, intimidasi dan pembunuhan warga sipil yang dilakukan oleh pihak-pihak bersenjata yang tengah bertikai dengan mengatasnamakan apapun. Juga disebutkan, redaksi Acehkita bersifat imparsial atau tidak memihak salah satu pihak yang tengah bertikai.

Sebelum pengusiran terjadi, karyawan Acehkita menggelar mogok kerja setelah tuntutan mereka agar Ketua Dewan Pengurus Yayasan Acehkita, Smita Notosusanto, dipecat, tak dipenuhi. Karyawan curiga, Smita tidak transparan dalam menggunakan dana Yayasan, termasuk dana kemanusiaan yang diberikan masyarakat untuk korban tsunami di Aceh yang terjadi Desember tahun lalu. Kecurigaan itu berawal setelah Smita mendirikan PT Mandiri Daya Dinamika yang menerbitkan Koran Acehkita.

Jurubicara Sepak yang juga Redaktur Pelaksana situs berita Acehkita, M Fakhrurradzie, menyesalkan pengusiran yang dilakukan pihak Yayasan ini.

“Pengusiran ini juga ancaman terhadap kebebasan pers. Kami tak menyangka, anggota Board Acehkita yang dikenal sebagai tokoh pembela HAM, pembela hukum dan pro-demokrasi bertindak seperti ini,” katanya.

Menurut dia, pihak Yayasan sempat bertemu dengan mereka beberapa hari lalu. Dalam pertemuan itu, Yayasan tak bisa memenuhi permintaan karyawan Acehkita, dengan alasan dibutuhkan audit terlebih dahulu untuk menemukan apakah betul ada penyimpangan dana kemanusian atau tidak.

“Tapi anehnya, sebelum mengaudit dana yayasan, mereka memindahkan dokumen keuangan dari kantor sejak hari Senin lalu,” katanya lagi.

Board Acehkita pun, sambung Radzie, meminta agar Pemred Acehkita, Dandhy Dwi Laksono, mengundurkan diri atau dipecat, karena sudah berbeda visi dan misi dengan mereka.

“Kata mereka, kami sudah melanggar prinsip jurnalisme damai,” ujar Radzie lagi.

Otto yang ditunjuk sebagai Caretaker Pengurus Yayasan Acehkita dan penandatangan surat penutupan kantor Acehkita kepada Rakyat Merdeka menjelaskan soal dugaan penyimpangan dana kemanusiaan tersebut. Katanya, tidak benar dia dan kawan-kawannya menggunakan dana kemanusiaan korban Tsunami untuk mendirikan PT.

“Yayasan Acehkita memiliki 50 persen saham di PT Mandiri Daya Dinamika. Dan menurut UU Yayasan yang baru, hal itu dimungkinkan. 50 persen saham itu bukan dana pribadi juga bukan dana kemanusiaan, melainkan fresh money dari keuntungan penjualan majalah dan tabungan,” katanya.

Saat ditanya perinciaannya, Otto menjawab tidak tahu, dengan alasan masih akan diaudit oleh auditor independen.

Namun sebelum disentuh auditor independen, sambungnya lagi, dokumen keuangan itu akan diaudit secara internal dulu. Masih menurut Otto, pihaknya belum pernah mengaudit dana Yayasan, termasuk donasi dari masyarakat untuk korban tsunami.

Sementara itu, Todung Mulya yang dihubungi enggan berkomentar panjang. “Ini urusan internal,” katanya.

Leave a comment