Indonesia Ingin Membantu Kamboja, Tapi Tak Punya Senjata
Foto karya Edward T. Adams, memperlihatkan Nguyen Ngoc Loan, seorang jenderal Angkatan Darat Vietnam Selatan, mengeksekusi seorang tahanan Viet Cong, Nguyen Tat Dat, tanggal 1 Februari 1968, di sebuah jalan di kota Saigon, kini Ho Chi Minh.
KONSTELASI politik di kawasan Asia Tenggara adalah hal lain yang dibicarkan Presiden Soeharto dan Presiden Nixon dalam pertemuan di Gedung Putih, Mei 1970. Isu utama dari pembicaraan mereka ketika itu adalah mengenai kebangkitan kekuatan komunis di kawasan Indochina.
Amerika Serikat dan sekutunya menganggap pasukan Viet Cong dan Vietnam Utara sedang berusaha menyebarkan paham komunisme di Kamboja.
Soeharto mengapresiasi perananan Amerika Serikat dan pemerintahan yang mereka dirikan di Vietnam Selatan dalam membantu Kamboja.
“Negara-negara Asia Tenggara memahami betapa serius keadaan di Kamboja. Kami (Indonesia) juga mempertimbangkan kemampuan kami ketika berdiskusi mengenai langkah-langkah dan perananan yang dapat diambil Indonesia (di Kamboja),” kata Soeharto.
Merujuk pada isi pembicaraan Soeharto sebelumnya, frase “kemampuan kami” di atas dapat diartikan sebagai “kemampuan militer Indonesia”.
Pada titik ini tampaknya Presiden Soeharto hendak memberikan kesan bahwa kelemahan persenjataan Indonesia dapat berakibat buruk dalam upaya menahan gelombang komunisme di Asia Tenggara, khususnya di subregional Indochina.
“Terus terang, kami menerima permintaan bantuan dari Kamboja. Tetapi kemampuan kami terbatas. Kami mengalami kekurangan peralatan (militer). Kami telah menawarkan bantuan politik untuk memperkuat semangat dan keberanian pemerintahan Kamboja,” urai Soeharto lagi.
Singkatnya, ancaman (komunisme) itu tidak hanya datang dari Rusia dan China.
Indonesia, lanjutnya, mengupayakan jalan politik secara aktif untuk membantu pemerintahan Kamboja. Misalnya, seminggu sebelum pertemuan dengan Nixon itu, Indonesia telah menggelar konferensi di Jakarta untuk menciptakan rasa hormat terhadap teritori Kamboja dan dukungan bagi penarikan mundur semua pasukan asing di sana. Indonesia juga mendorong agar International Control Community yang didirikan di Jenewa tahun 1954 untuk membantu Kamboja segera diaktifkan kembali.
“Konferensi itu mencapai tujuan, dan tiga orang perwakilan sudah terpilih untuk menjalankan semua keputusan,” sambungnya.
“Kekuatan militer Kamboja yang hanya punya pasukan sebanyak 3.500 tentara tentu tidak cukup kuat untuk menghadapi Viet Cong dan Vietnam Utara. Ada ancaman besar yang sedang dihadapi pemrintahan Kamboja. Aksi dari pemerintahan Vietnam Selatan dan Amerika Serikat sangat esensial dan penting,” masih Soeharto.
Presiden Soeharto juga bercerita bahwa ketika sedang bertemu dengan Admiral McCain di Honolulu, Hawaii, kurirnya datang membawa berita dari Kamboja. Sang kurir mengatakan bahwa pemerintahan Lon Nol di Kamboja sedang dalam keadaan yang amat gawat.
Soeharto juga menjelaskan pandangannya mengenai konflik di Indochina. Menurutnya sudah sejak lama ada rasa saling tidak suka diantara Kamboja dan Vietnam Selatan. Persoalan ini sedikit banyak menjadi kendala bagi upaya Amerika Serikat membantu Kamboja. Pemerintah Kamboja tidak begitu suka menerima bantuan dari Vietnam Selatan.
Tetapi bagaimanapun juga kemampuan Vietnam Selatan dan Amerika Serikat menghantam Viet Cong dan Vietnam Utara akan sangat membantu Kamboja. Pasukan Kamboja, walaupun punya jumlah dan kemampuan terbatas, tentu akan dapat menghadapi pasukan Viet Cong dan Vietnam Utara, selama dibantu oleh Amerika Serikat. Begitu penilaian Soeharto.