SEORANG teman, jurnalis Aceh, mengirimkan sepucuk e-mail. “Sangat menakutkan,” tulisnya sebagai kata pembuka. E-mail teman itu bernada satir, menggambarkan (kemungkinan) keadaan bila qanun atau peraturan daerah Aceh mengenai “pers Islami” yang sedang dibahas di parlemen Aceh sungguh diberlakukan.
Berikut adalah e-mail Radzie, teman saya itu.
Semakin menakutkan.
Jadi, kawan-kawan redaktur di Jakarta, nanti harap maklum ajah, kalau ada berita yang dimulai dengan:
“Bismillahirrahmanirrahim. Dua pria pengangguran memperkosa seorang bocah setelah menonton film porno… dst…”
Atau juga dengan penampilan sejumlah jurnalis televisi yang pakai peci, sarung, dan baju koko. Mereka melaporkan dengan ucapan pembuka:
“Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakatuh. Dapat saya laporkan, insya Allah koruptor akan dijerat maksimal lima hari penjara. Insya Allah juga, besok sejumlah massa dari beberapa perguruan tinggi–sekali lagi insya Allah–akan melancarkan aksi demonstrasi, yang insya Allah akan digelar di lapangan Tugu Darussalam Banda Aceh… Demikian laporan saya. Insya Allah besok kita berjumpa lagi. Wassalamualaikum. ”
Jadi, kawan-kawan redaktur dan editor, jangan marahin kami wartawan di negeri syariat ya, kalau menulis berita seperti di atas. Kalau tidak menulis seperti itu, kami akan dicambuk dan dianggap murtad… (berkaca pada kasus jurnalis di Afganistan).
Radzie
Jurnalis acehkita.com dan acehkini majalah
Dan berikut berita mengenai qanun “pers Islami” yang sedang digodok parlemen Aceh.
Nanggröe Aceh Darussalam
Jurnalis Aceh Tolak Rancangan Qanun Pers IslamiBanda Aceh, (Analisa)
Kalangan jurnalis yang bertugas di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan tegas menyatakan menolak draft rancangan qanun (peraturan daerah) tentang pengaturan Pers dan Penyiaran Islami yang digagas Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Aceh dan sedang dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).Rancangan qanun tersebut terkesan sangat dipaksakan dan dinilai dapat mengekang kebebasan pers serta menghambat penyampaian informasi kepada publik, dengan sejumlah aturan yang mengatur pers di Aceh. Padahal aturan yang ada sudah sangat jelas, yakni UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.
“Qanun ini sepertinya sangat dipaksakan untuk mengatur pers di Aceh. Padahal, para jurnalis yang tergabung dalam berbagai organisasi pers di daerah ini sudah punya UU Pokok Pers No. 40 Tahun 1999,” ujar Muhammad Hamzah, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Sabtu (2/2).
Disebutkan, wartawan dalam menjalankan tugas dan menulis berita di medianya punya rambu yang jelas, yaitu kode etik jurnalistik (KEJ). Karenanya, ia menilai pembahasan rancangan qanun itu akan sia-sia.
Juga dipertanyakan bagaimana bisa membendung siaran suatu media elektronik yang tidak islami, sementara kedudukannya di Jakarta, apakah siaran ini bisa dicegah atau diproteksi.
Selain itu, bagi media lokal tentunya tetap berpedoman pada UU Pokok Pers yang berlaku secara nasional karena pers di Aceh masih dalam satu kesatuan NKRI.Hamzah juga menyayangkan sikap rekan-rekan di KPID Provinsi NAD dan DPRA yang sepertinya kurang memahami UU Pokok Pers. Karenanya, semua pihak diminta tidak latah dalam merancang sebuah peraturan di Aceh.
Menurutnya, sampai saat ini masih sangat banyak qanun lainnya yang belum dibahas dan sangat penting dalam rangka pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Aceh ke depan pasca MoU Helsinki dan dengan adanya UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU-PA).
“Saya pikir, mari kita pahami bersama bagaimana UU Pokok Pers yang sudah ada ini dijalankan saja, kalaupun dinilai masih ada kekurangan justru hendaknya diselaraskan saja sesuai aturan, bukan dengan membuat aturan baru yang dapat mengekang kebebasan pers dan menghambat penyampaian informasi kepada publik, sehingga nantinya masyarakat dirugikan,” sebutnya.
Kalangan sipil lainnya juga menuding rencana pembuatan Qanun Pers dan Penyiaran Islami pada 2008 ini terkesan dipaksakan, padahal produk undang-undang pers dan penyiaran nasional yang ada sekarang ini dinilai sudah sangat islami.
Untuk itu, dalam sebuah diskusi tentang keberadaan qanun pers dan penyiaran islami di Banda Aceh, kalangan sipil juga menginginkan agar DPRA menunda pembahasan rancangan qanun tersebut, karena dinilai tidak efektif dan hanya membuang uang dan waktu saja.
Agenda Tersembunyi
Akhiruddin Mahyudin, Koodinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, menilai, ada agenda tersembunyi dalam rencana pembentukan qanun pers dan penyiaran islami, karena qanun tersebut dirancang secara diam-diam tanpa melibatkan masyarakat sipil dan jurnalis di Aceh. Ia menyatakan, ada upaya tertentu dari DPRA untuk mengekang media lokal dalam menyiarkan berita.Sementara Ketua KPID Provinsi NAD, Iskandar Gani menyatakan, pembuatan rancangan qanun pers dan penyiaran Islami itu bukan dipaksakan, tapi merupakan amanah UU No. 11 Tahun 2006.
“Pada prinsipnya qanun itu sangat penting untuk mengatur pers yang Islami dan merupakan amanat dari UU-PA pasal 15 ayat 1-2, dimana Pemerintah Aceh punya kewenangan dalam menetapkan pers dan penyiaran yang berandaskan nilai-nilai keislaman,” ungkap Iskandar.
Menurutnya, DPRA juga telah memerintahkan Pemerintah Aceh untuk berkoordinasi dengan KPID dan setelah ada perintah itu, KPID melalui SKPD Dinas Infokom menyiapkan draft rancangan awal dalam bentuk penyiaran yang islami.
“Menyangkut soal pers yang islami, nanti kita akan ajak kembali rekan-rekan PWI dan AJI serta pemerhati pers lainnya untuk membahasnya kembali, namun waktunya saya belum tahu karena kita belum punya biaya untuk itu,” ujarnya seraya menambahkan, qanun tersebut merupakan inisiatif DPRA karena dianggap penting untuk mengatur pers yang islami.
Ditambahkan, dalam pengaturan pers yang islami, media jangan memberitakan sesuatu yang dapat menyudutkan dan mencemarkan nama baik orang lain, karena itu bertentangan dengan ajaran Islam. (mhd)

Wah, yang baca koran HARUS baca bismillah juga sebelum membeli. Dan mesti sering-sering mengucapkan astagfirullah aladzim kalau berita yang mengagetkan, misalnya pedagang tempe goreng yang mati gantung diri karena harga kedele melambung tinggi.
Trus, pengadilan korupsi tunggu kiamat aja, ya. Kan hanya Allah yang Maha Tahu, siapa yang korup (ketahuan) siapa yang korup (gak ketahuan). Hehehe…
Mas Radzie, tetap semangat!
radzie, seperti kata sandra, tetap semangat!
Pertama menyangkut email Bung Razie. Sebagai orang Aceh yang “kebetulan” memilih profesi jurnalis sebaiknya lebih arief dalam mengeluarkan pernyataan. Konon lagi pernyataannya dikirim ke rekan2 pers di luar Aceh. Hemat saya, Syariat Islam di Aceh bukanlah simbolistik semata seperti yang saudara maksudkan. Tak sampai harus membaca Bismillah dan sebagainya. Tapi sebagai masyarakat, saya sangat sepakat apabila yang diatur adalah content-nya. Liat saja sekarang betapa banyak pemberitaan yang bertentangan dengan nilai2 islam. Publikasi foto2 yang mengundang syahwat hanya untuk meraih keuntungan semata tanpa mempertimbangkan rusaknya moral generasi penerus bangsa.
Sebagai bahan renungan buat rekan2 pers. Dengan tidak mengurangi rasa terimakasih juga. Bahwa, pemberitaan Anda yang tidak islami telah membuat rusak karakter anak bangsa. Pemberitaan juga tidak menghormati hak-hak anak. Dengan menampilkan foto2 yang belum pantas mereka saksikan. Namun, koran dan siarannya bisa dijangkau oleh anak2 secara bebas.
Meski ada penolakan, Yakinlah Syariat Islam akan tetap terwujud di Bumi Aceh. Ini baru langkah awal menuju kesitu. Kerikil2 kecil itu hal yang biasa.
Pembentukan Qanun Pers dan Penyiaran Islami merupakan amanah UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Pasal 153 bukan Pasal 15.