SAYA tak bermaksud menggurui. Tapi kalau ada waktu, mungkin ada baiknya membaca buku Ali Syariati, yang judulnya dalam bahasa Indonesia: Agama versus “Agama”.
Saya juga tak bermaksud mengurui. Tetapi setahu saya, semantik memang seringkali menjebak kita. Sampai pada satu titik, beragama dan tidak-beragama sama saja artinya. Ber-Tuhan dan tidak-ber-Tuhan juga sama saja artinya.
Kita sering beharap agar semua manusia di muka bumi ini menghormati dan menghargai sesama manusia, betapapun ada perbedaaan penilaian di masing-masing benak. Tetapi seperti yang sering kali kita lihat dalam kehidupan, selalu ada good-cops dan bad-cops. Selalu ada orang yang mencuri di tikungan, selalu ada orang yang membonceng dan sebagainya.
Saya kira Nietzsche punya pandangan lain tentang konsep agama yang dipahaminya sebagai sebuah set of values yang akhirnya menjebak otak kita.
Pokoknya, apapun yang menjebak, saya sepakat, adalah racun, adalah candu, adalah faktor yang menciptakan kesadaran semu, dan menurut Marx, seringkali dipakai untuk membungkam kesadaran manusia.
Tidak ada jaminan, mengakui tidak ber-Tuhan akan lebih baik daripada mengaku ber-Tuhan. Seperti sebaliknya orang-orang yang mengakui dirinya ber-Tuhan juga tak lantas jadi baik bagi sesamanya.
Jadi mengapa kita harus risau dengan soal ini.
Sulit membayangkan ada orang tua, ibu, yang mengajarkan anaknya untuk berbuat kejahatan selama hidupnya. Dalam dunia normal yang saya pahami (setidaknya saya bayangkan), seorang ibu tentulah mengajarkan hal-hal baik kepada anaknya. Tetapi bukanlah salah sang ibu, bila kemudian sang anak memilih jalan lain, jalan–katakanlah–keburukan yang bertentangan dengan nasihat sang ibu.
Salam hormat.
