Hari Kebebasan Pers Internasional 2007
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional kemarin, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengingatkan bahwa ancaman, tekanan dan kekerasan terhadap pers di tanah air masih terus terjadi.
Dalam periode Mei 2006 hingga April 2007, AJI mencatat setidaknya telah terjadi 53 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis dan media dalam berbagai bentuk. Mulai dari ancaman (delapan kasus), pelecehan (empat kasus), penculikan (satu kasus), pengusiran (delapan kasus), penjara (satu kasus), sensor (tiga kasus), serangan (21 kasus), hingga tuntutan hukum (tujuh kasus).
Dalam peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional itu AJI bersama Southeast Asian Press Alliance (SEAPA) menggelar konferensi regional di Hotel Santika. Konferensi yang dihadiri sejumlah pengurus organisasi jurnalis dari beberapa negara di kawasan Asia dan Australia itu bertujuan untuk merumuskan strategi mengadvokasi media massa dan jurnalis yang mengalami tekanan baik di tingkat nasional dan regional. Selain itu, konferensi tersebut juga berupaya meningkatkan pemahaman publik terhadap mekanisme kerja jurnalistik dan koridor hukum pers.
Para delegasi dari berbagai negara seperti Roby Alampay (Thailand), Jose Torres (Filipina), Kodeeswaran Rushangan (Srilanka), dan Rahimullah Samander (Afghanistan) berbagi cerita mengenai kondisi kebebasan pers di negara mereka.
Rahimullah, misalnya, mengatakan bahwa kebebasan pers di Afghanistan kembali menghadapi tekanan dari berbagai pihak, mulai dari sisa penguasa rezim Thaliban, penguasa-penguasa lokal hingga komunitas internasional yang masih bercokol di Afghanistan. Sementara Jose, mendesak agar pemerintahan Gloria Macapagal Arroyo mengusut tuntas pembunuhan jurnalis di negara itu. Sejak Arroyo berkuasa di tahun 2001 hingga saat ini setidaknya 51 jurnalis Filipina tewas dibunuh.
Sementara itu Ketua Umum AJI Indonesia Heru Hendratmoko mengatakan bahwa pers yang bebas adalah sarana kontrol sosial yang paling efektif untuk melindungi kepentingan rakyat.
Sebut Heru, AJI Indonesia pun mencatat berbagai kasus kriminalisasi terhadap karya jurnalistik di Indonesia yang terjadi sejak 2003 hingga April 2007. Dari 41 kasus jurnalistik yang dikategorikan sebagai pencemaran nama baik oleh aparat penegak hukum, hanya enam kasus yang diproses dengan UU Pers 40/1999.
”Padahal UU Pers sudah menyediakan mekanisme penyelesaian masalah yang sesuai dengan koridor dan prinsip-prinsip pers dalam negara demokrasi,” ujar Heru.
Heru meminta agar aparat penegak hukum tidak lagi mempidanakan karya jurnalistik. Selain itu dia juga mengajak agar semua pihak menggunakan mekanisme yang telah disediakan UU Pers 40/1999 dalam sengketa karya jurnalistik. Terakhir, Heru mengajak semua insan pers untuk meningkatkan profesionalisme dan meningkatkan kepatuhan terhadap etika jurnalistik. GUH
