PARTAI Pelopor memasuki babak baru. Setelah Rachmawati Soekarnoputri yang mendirikan dan memimpin partai itu selama lima tahun terakhir terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), kini partai itu menghadapi keharusan menggelar suksesi.
Selain itu, Partai Pelopor juga menghadapi dua opsi atau pilihan berkaitan dengan eksistensi partai itu di arena Pemilu 2009. Keputusan tersebut harus diputuskan dengan pertimbangan yang ekstra-matang; apakah tetap bertahan dengan catatan mengubah nama dan mengikuti proses verifikasi dari nol, atau bergabung dengan partai lain.
“Kami akan mengantisipasi semua kemungkinan yang akan terjadi,” kata Sekjen Partai Pelopor Eko Surjosantjojo di Jakarta, kemarin.
Proses suksesi dan pengambilan keputusan mengenai eksistensi partai itu akan dilakukan dalam Kongrs Luar Biasa yang akan digelar dalam waktu dekat ini. Sebelumnya, Partai Pelopor pernah merencanakan menggelar KLB pada akhir Maret lalu. Namun menyusul pengumuman susunan Wantimpres yang molor, KLB Partai Pelopor juga terpaksa diundur.
”Sebelum menggelar KLB, akhir April ini kami akan menggelar rapat pimpinan nasional untuk mempersiapkan agenda yang akan dibawa dan dibahas dalam KLB,” kata Eko.
Eko mengatakan bahwa posisi Partai Pelopor terhadap pemerintahan SBY tidak akan berubah. Dalam putaran pertama Pilpres 2004 lalu, Partai Pelopor memilih independen dan tidak mendukung pasangan capres-cawapres manapun. Begitu juga pada putaran kedua Pilpres 2004 ketika Megawati Soekarnoputri berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
”Sejak awal kami sudah mengambil sikap independen. Dan terhadap pemerintahan SBY sejak awal kami mengambil garis kritis-konstruktif. Sepanjang program pemerintah sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi, termasuk sesuai dengan komitmen Presiden saat dilantik, kami akan back up. Tetapi kalau ada yang perlu dikritisi, ya kami kritisi,” ujar Eko.
Nah, sampai kini, lanjut Eko, Partai Pelopor belum melihat ada kebijakan yang menyimpang dari konstitusi dan janji SBY. ”Masih dalam track. Misalnya dalam program pemberantasan korupsi, walaupun ada kesan pilih-pilih, tetapi sudah konsisten. Juga soal penegakan aturan dan hukum di kalangan pejabat negara. Siapapun yang bersalah, termasuk pejabat, harus diproses secara hukum. Ini tampak tegas dalam kasus Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspojo. Jandi bukan hanya bekas menteri yang diawasi. Kalau ini dapat dipertahankan, ya alhamdulillah,” ujar dia lagi.
Bagaimana dengan jumlah pengangguran dan penduduk miskin yang relatif meningkat selama masa pemerintahan SBY?
Menjawab pertanyaan itu, Eko mengatakan, hal itu dipicu oleh rasa takut yang berkembang di kalangan dunia perbankan dan dunia usaha, juga dikalangan birokrat.
Sektor makro ekonomi yang baik namun tidak diikuti oleh pertumbuhan sektor ril adalah akibat langsung dari rasa takut yang berkembang itu. ”Mereka takut dicap sebagai koruptor kalau ada proyek yang tidak sesuai dengan perencanaan.Ini adalah akibat rasa takut. Padahal bila mereka bekerja sesuai aturan main tanpa pungli dan mark up, tidak ada alasan untuk takut,” ujar Eko lagi sambil menambahkan perasaan ini juga yang menyebabkan daya serap anggaran belanja nasional sangat kecil sehingga tidak dapat menggerakkan sektor ril.
Dia pun menyoroti rasa aman di tengah masyarakat yang semakin berkurang. ”Secara umum tampak aman, tetapi kelompok yang dianggap ”terorisme” masih ada. Mereka ini kadang bermain di luar koridor hukum dan atas nama keyakinan melalukan tindakan destruktif,” sambungnya sambil menambahkan hal yang satu ini terjadi karena pemerintah belum optimal dalam menjamin rasa aman.
Pada bagian lain, Eko juga mengatakan bahwa sikap politik Rachmawati tak akan berubah. Pendiri Universitas Bung Karno (UBK) ini akan tetap anti pada kekuatan neokolonialisme dan neoliberalisme. ”Selama ini banyak elemen dalam tubuh pemerintah yang bersikap pro terhadap nekolim dan neolib. Selama ini mereka tak punya sparing partner. Setelah Mbak Rachma hadir di tengah pemerintahan mereka yang pro pada nekolim dan neolib ini punya kesempatan untuk memahami mengapa kita harus menjaga harga diri dan kepribadian bangsa ini seperti cita-cita trisakti Bung Karno,” demikian Eko. GUH Rakyat Merdeka, 7 April 2007
