Bahaya aksi terorisme demikian jelas, bukan hanya pada masyarakat sekitar dan kerusakan fisik, tapi juga trauma psikis terhadap korban dan keluarganya. Ancaman inipun harus disikapi secara bijak, dengan terus mengoptimalkan upaya pencegahan dan pemberantasannya. Upaya itu salah satunya melalui pendekatan agama.
Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid menyatakan, sesungguhnya cara efektif untuk memberantas terorisme adalah pemahaman beragama yang benar, moderat, ilmiah, dan kukuh. “Sebenarnya Indonesia dan Timur Tengah adalah korban terorisme juga,” jelasnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin menambahkan, terorisme jelas tidak memiliki akar agama dan bertentangan dengan moralitas. “Ini bukan gejala keagamaan,” kata Din. Meski Din menilai terorisme juga dipicu kesenjangan sosial-politik, ia menyadari, kalangan agama tidak bisa melepas tanggung jawab. Menurut Din, saat ini memang ada gejala salah interpretasi terhadap agama. Akibatnya, pemahaman agama lebih menekankan wajah keras agama. Agama dipandang sebagai alat merebut hegemoni dan mengeliminasi orang lain.
Senada dengan Din, rektor baru UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat, mengatakan, radikalisme umat beragama dapat dikurangi dengan mengintensifkan dialog antar-agama dan pendidikan. “Harus ada upaya menyadarkan masyarakat bahwa kita hidup dalam rumah tangga besar yang anggotanya memiliki perbedaan,” katanya.
Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Tarmizi Taher menambahkan, teror atau membunuh orang tidak berdosa tidak ada kaitannya dengan agama apapun termasuk dengan agama Islam. “Terorisme adalah gerakan anti kemanusiaan, gerakan politik yang menyalahgunakan agama untuk mencederai umat itu sendiri. Korban dari aksi teror telah menimpa berbagai negara dan masyarakat,” ujarnya.
Tarmizi mengakui, Umat Islam saat ini diuji dengan tuduhan terorisme. Namun demikian, kata dia, umat Islam patut bersyukur dengan munculnya gerakan Islam Moderat dalam masyarakat yang menunjukkan adanya revivalisasi nilai-nilai agama yang santun dan ramah.
Nilai-nilai agama tersebut berhadapan dengan arogansi dan kekerasan. “Umat beragama di Indonesia harus bangkit bersama melawan kekerasan yang mengatas-namakan agama, jika tidak mau tenggelam dalam stereotip yang tidak menguntungkan semacam teroris,” ingatnya.
Imam Feisal Abdul Rauf, pendiri Masyarakat Amerika bagi Kemajuan Muslim (Asma) membenarkan telah terjadi pemahaman yang salah mengenai Islam bahwa agama Islam dikaitkan dengan terorisme. “Kita berusaha menghapuskan praduga ini. Kita harus mengubah pemahaman mengenai Islam di Barat dan ini tak dapat dicapai tanpa keterlibatan kaum Muslim sendiri, misalnya melalui pemimpin agama, pegiat hak asasi manusia, cendekiawan, dan politisi muslim,” jelasnya.
Maemunah Sa’diyah, dosen UIKA Bogor menyatakan ada tiga asumsi mengapa terorisme terjadi dan dikaitkan dengan Islam. Pertama, terdapat konspirasi besar yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Al-Quran dan hadis yang interpretasikan sebagai anjuran umat Islam untuk melakukan kekerasan. Dan ketiga, ada yang salah dalam proses pendidikan sehingga berpeluang melahirkan agen-agen teroris.
Metodologi yang dilakukan selama ini, menurut Maemunah, lebih kepada kognitif minded, bukan implementatif minded, sehingga aspek afeksi dari nilai-nilai agama nyaris tidak tersentuh ditambah lagi dengan waktu belajar agama yang sangat singkat. “Hal inilah yang mungkin menjadi celah bagi masuknya pengaruh-pengaruh yang mengatasnamakan Islam tanpa mengalami proses filterisasi terlebih dahulu,” ingatnya.

Citra Islam sangat dinodai oleh para teroris yang mengatas namakan Islam. Oarng Islam jangan mudah mempercayai teroris yang mengatas namakan Islam. Umat islam harusnya turut memberantas terorisme, bukannya melindungi. Menurut saya teroris itu tempatnya di Neraka, karena merusak citra Islam, yang seharusnya Islam itu rahmatan lil’alamin, akibat ulah teroris menjadi sebaliknya.
PARA JURU DAKWAH YANG GAGAL
Mayoritas penduduk Indonesia Islam. Juru dahwah dimana-mana. Tapi kenapa korupsi merajalela, bahkan Depag sendiri pernah menyandang predikat Depertemen terkorup, na’udzubillahi min dzaliq. Kesimpulannya dahwah yang disampaikan tidak bermakna. harusnya para juru dakwah mawas diri, apa sebenarnya yang salah ?
Dakwah yang selama ini lebih banyak bicara surga dan neraka, tetapi tidak pernah menekankan habluminnanas, dalam arti yang luas. Sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada orang lain, dan sejelak-jelek manusia adalah yang mencelakakan orang lain. bagaimana seseorang bisa menciptakan lapangan kerja, itu yang akan mendapat pahala banyak, pahala yang berantai. Sedangkan orang yang menipu orang lain, akan menuai dosa berantai juga.
Cobalah mulai denga menanamkan KEJUJURAN, karena kejujuran itu akan membuat semua yang dilakukan akan menjadi baik. Pernah pada jaman Rosulullah seseorang yang melakukan semua kemaksiatan, judi, zina, mabok semua perbuatan yang dilarang agama dilakukan. Oleh Rosululloh hanya diminta orang itu jujur. Akhirnya karena orang tsb. benar2 berbuat jujur, maka semua perbuatan maksiat itu akhirnya dia tinggalkan. Karena sebenarnya setiap unsur kemaksiatan, didalamnya ada unsur kebohongan atau ketidak jujuran.
Mari kita mulai JUJUR terhadap diri sendiri, jujur kepada orang lain dan Jujur kepada allah SWT, insya Allah semua akan menjadi baik. Kalau masih ada yang tidak baik, berarti masih ada ketidak jujuran dalam diri orang tersebut.
Salam
Triadi