Ketika fenomena terorisme timbul di Indonesia, banyak tokoh dari dalam dan luar negeri yang berharap agar Islam moderat tampil dan memberikan andil dalam meredam gejolak teror berlabel agama. Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew misalnya, menyerukan agar kelompok Islam moderat di Asia Tenggara mengambil sikap untuk memerangi ekstrimis Islam yang ia sebut telah membuat teror di dunia.
Dalam wawancaranya di BBC East Asia Today, Lee mengatakan berdiamnya kelompok Islam Umat Islam di Asia Tenggara, membuat Islam ekstrimis leluasa meledakan bom seperti di Bali dan Jakarta. Merespon maraknya terorisme berlabel agama, konferensi yang bermaksud meng-counter berkembangnya pengaruh Islam radikal di kalangan umat Islam pun seringkali digelar. Intisari konferensi-konferensi yang digelar itu adalah Islam merupakan agama moderat yang cinta damai, antikekerasan, dan tidak antikemajuan.
Menurut Ketua PBNU Said Aqil Siradj, dalam Islam terdapat istilah al-hanifiyyah samhah, yang dikenal sebagai ajaran toleransi karena di dalamnya mengajarkan konsep ummatan wasathan (umat yang moderat). “Dengan begitu, umat Islam mampu menerjemahkan nilai-nilai universal Islam yang moderat, saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya. Inilah Islam sebagai agama yang toleran,” ujarnya.
Said yang menyelesaikan studinya selama 15 tahun di Arab Saudi ini, menceritakan dengan baik peranan orang Yahudi dan Nasrani dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. “Seperti halnya Bukhairo, seorang pendeta Kristen yang berpesan kepada Abu Tholib agar menjaga keponakannya (Muhammad), karena di hari nanti akan menjadi pemimpin umat dan utusan Tuhan,” jelasnya.
Kemudian contoh lain, kata Said, adalah Waroqoh bin Naufal, seorang Nasrani yang memprediksi bahwa Muhammad akan menjadi Nabi masa depan, dan mengatakan bahwa yang datang kepadanya adalah Malaikat Jibril.
Lebih lanjut, dengan menyitir Surat al-Hajj ayat 41, Said menjelaskan bahwa Allah mengizinkan gereja, sinagog, kelenteng dan masjid untuk berdiri di muka bumi ini. Bahkan di negara-negara Arab tidak pernah ada gereja yang diganggu atau dirusak. “Memang ada beberapa kejadian yang bernuansa agama tetapi tidak sampai membakar dan merusak tempat ibadah orang lain,” ujarnya.
Pakar Islam asal Mesir, Muhammad Imarah mengungkapkan, moderatisme Islam terbentuk dengan landasan yang jelas dan pasti. “Doktrin moderatisme Islam perpaduan antara akal dan wahyu, jasmani dan rohani, keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, moderatisme Islam sangat spesifik yang tidak dimiliki agama lain,” kata Imarah.
Anggota Dewan Riset Ulama Al-Azhar ini menjelaskan, bahwa moderatisme dalam dunia Barat tidak sama dengan di Islam. Dunia Barat, ungkapnya, maju namun lebih mengunggulkan rasionalitas atau akal. Karena itu, kemajuan Barat tinggal menunggu waktu kehancuran karena landasannya yang tidak kuat. “Berbeda dengan Islam yang memadukan akal dan wahyu. Islam dapat maju kalau kedua hal itu diberdayakan secara maksimal,” papar intelektual yang telah menulis lebih dari 170 buku.
Imarah memberi contoh moderatisme Islam, khususnya di bidang ekonomi. Menurutnya, Muslim yang tidak mengakui solidaritas sosial dalam Islam, maka dia terlepas dari agamanya. Dunia Islam memiliki kemampuan dan potensi sumber daya alam luar biasa. Ada minyak, gas bumi, biji besi, potasium, ada mineral, dan lainnya. Dalam setiap harta benda itu terdapat zakat yang harus dikeluarkan.
“Kalau dalam Islam yang moderat, kita bisa membuat dana sosial yang bersifat abadi yang bisa digunakan untuk pembangunan dan bisa membebaskan kita dari jeratan IMF dan Bank Dunia. Ini adalah konsep moderatisme Islam tentang harta,” ujar pemikir yang puluhan bukunya telah diindonesiakan ini.
