Sebagai komunitas Muslim terbesar di dunia, Indonesia terus menjadi perhatian masyarakat internasional. Dalam konteks kehidupan beragama, harus diakui bahwa pasang-surut selalu mengiringi model kehidupan beragama. Umat Islam sendiri tidak lepas dari hal tersebut. NU dan Muhammadiyah sebagai mainstream dari gerakan Islam moderat, menjadi harapan bagi terwujudnya pembumian nilai-nilai dan wajah Islam moderat di Indonesia.
Tapi, tak dipungkiri bahwa usaha itu tidaklah mudah. Ada sebagian kecil masyarakat yang menempuh jalannya sendiri, secara sempit dan hitam-putih. Membahas hal itu, At-Tanwir mewawancarai mantan Menag, Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI), dan penulis buku Berislam Secara Moderat, KH Dr dr Tarmizi Taher, M.D. Petikannya:
Menurut Anda, bagaimana sebenarnya konsep moderatisme Islam itu?
Dalam pandangan saya, istilah moderat itu istilah modern, masa kini. Kalau dalam konsep Islam disebut wasathan, atau umat pertengahan. Allah telah menyatakan peran yang harus dimainkan Islam, yaitu sebagai ummatan wasathan (umat yang serasi dan seimbang), adalah menjadi saksi atas kebenaran dan keagungan ajaran Allah. Hal itu dengan jelas terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 143: “Wa kadzalika ja’alnaakum ummatan washatan litakuunu syuhadaa’a ‘alannasi wayakuna ar-rasululu ‘alaikum syahiidan,” artinya: Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Penegasan Allah bahwa umat Islam harus menjadi ummatan wasathan selayaknya mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari kita semua. Terutama di saat menghadapi perubahan yang sangat cepat akibat dari kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan besarnya gelombang globalisasi.
Faktanya, apakah umat Islam sudah serius memperhatikan atau mempraktekkan konsep Islam tersebut?
Ya, memang harus diakui, bahwa ada sebagian kecil umat Islam yang menempuh jalannya sendiri secara sempit dalam mempraktekkan ajaran Islam, sehingga bagi kita atau kebanyakan umat Islam lainnya, jalan seperti itu dinilai telah keluar dari jalur moderatisme Islam. Model keberagamaan yang demikian menjadikan pola pikir dan tindakan orang bersangkutan secara hitam-putih, tidak memperhatikan kemaslahatan yang lebih besar. Padahal Islam diturunkan untuk menjadi agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Bisa dijelaskan, moderat dalam beragama itu riilnya seperti apa?
Kita mengamalkan ajaran Islam secara rasional, cerdas, dan membawa dampak positif bagi kehidupan orang lain. Dalam bahasa dakwah, itulah ajaran amar makruf nahi munkar tanpa menyakiti pihak lain. Yang utama, hemat saya, bisa dikatakan moderat kalau telah mengamalkan Islam sesuai petunjuk Al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Kedua, moderat dalam bertindak. Berlebih-lebihan sehingga menimbulkan kezaliman, itu bukan moderat, tapi itu adalah pengrusakan moral dan sosial. Nafsu, kita baru saja melaksanakan puasa Ramadhan, adalah bagian dari jihad besar kita menaklukkan kemauan ragawi dan duniawi. Kalau kita gagal menaklukkan nafsu, terjadilah petaka, seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Berarti kita gagal beragama karena beragama secara kebablasan, bukan secara moderat. Karena segala hal yang menimbulkan mudharat, berarti orang itu tidak moderat, bahkan beragamanya patut dipertanyakan.
Dalam kondisi seperti itu, apa yang harus dilakukan umat Islam?
Yang terpenting adalah menyadari, bahwa hadirnya Islam adalah sebagai rahmat bagi semesta, bukan cuma untuk umat Islam saja. Konsekuensinya, menuntut segenap sikap dan tindakan kaum Muslimin yang moderat, baik dalam beragama maupun dalam bermasyarakat dan bernegara. Memahami secara benar dan menyeluruh ajaran Islam akan dapat membantu mewujudkan pembumian nilai-nilai moderat Islam. Kedepan, Islam moderat akan menjadi penentu peradaban dunia.
