Munculnya sikap keberagamaan yang berlebihan dan memandang ajaran agama secara hitam-putih, hanya akan menimbulkan dampak negatif dan citra buruk bagi agama tersebut. Selain itu, sikap berlebihan itu juga akan menumbuh-suburkan radikalisme beragama. Islam sendiri menolak keras sikap-sikap berlebihan tersebut.
Sebagai agama yang wasatha atau tengah-tengah, Islam sangat menjunjung moderatisme dalam bersikap dan beragama. Membahas lebih lanjut hal tersebut, At-Tanwir berbincang dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi. Petikannya:
Bagaimana Anda memandang munculnya radikalisme beragama?
Tentu kita prihatin dengan kenyatan seperti itu. Dalam bahasa Arab, istilah radikalisme itu biasa disebut tathorruf, menjadi muthothorrifin. Kemudian juga diartikan dengan istilah teror atau menciptakan bencana-bencana. Radikalisme beragama, hemat saya, hanya akan berdampak negatif bagi agama itu sendiri dan tidak produktif bagi upaya membangun kehidupan yang damai, sejahtera dan aman. Memang diakui, bahwa radikalisme beragama itu bukan saja monopoli Islam, dalam agama lainnya pun radikalisme beragama juga ada.
Sejauh yang Anda amati, apa penyebab munculnya radikalisme dalam Islam?
Ada beberapa faktor yang berakumulasi atau bertemu satu dan lain yang pada akhirnya melahirkan radikalisme dan terorisme. Nah, munculnya paham radikalisme dalam agama Islam disebabkan oleh: Pertama, faktor pengertian seseorang terhadap Islam dan penyalahgunaan Islam untuk perorangan. Pengertian ini biasanya lahir karena ekslusivisme Islam. Mereka hanya membenarkan kelompoknya sendiri, tidak bisa memegang teguh pendirian, dan tidak dapat memahami kelompok lain dalam ber-Islam. Sehingga ia merasa mewakili Islam dan Islam adalah dia. Kalau bukan dia tidak seberapa Islamnya. Dominasi ini melahirkan berbagai macam fanatisme, mulai yang paling lunak sampai yang paling berat. Paham yang paling berat adalah Hizbul Takfiriyyah, yaitu kelompok yang selalu mengatakan di luar dirinya adalah kafir. Dominasi Islam ada pada dirinya.
Kedua, adalah lakum dinukum waliyadin, yang diartikan sebagai pembenaran Islam saja tanpa pengakuan terhadap eksistensi agama yang lain. Padahal seharusnya adalah kita tidak mengikuti mereka tetapi kita juga tidak ribut dengan mereka itu. Seterusnya mereka juga tidak boleh mengganggu apa yang kita punya. Dalam perkembangannya, waliyadin ini yang lebih mendominasi dari pada lakum dinukum. Inilah yang pada akhirnya juga menjurus kepada radikalisme agama, sebagaimana juga terjadi pada agama-agama yang lainnya. Namun, orang-orang di luar Islam yang juga sering membawa radikalisme atas agama dengan lihai membungkus diri sedemikian rupa dengan menggunakan tema-tema yang universal, bukan tema agama. Sementara kita telanjang, seperti Amrozi yang menggunakan yel-yel Allahu Akbar. Ketika saya mengatakan bahwa Islam bukan agama kekerasan, maka orang-orang Eropa bertanya, bagaimana bapak bisa mengatakan bahwa Islam bukan agama kekerasan, sementara pelaku kekerasan sendiri mengaku sebagai Islam.
Kalau pengaruh dari luar, seperti pemikiran yang dibawa pihak asing, sejauhmana berdampak bagi kemunculan radikalisme itu sendiri?
Ya, itu memang ada, meski intensitasnya tak begitu besar. Bahwa orang yang membawa Islam dari luar, dimana cara-cara berislam mereka belum di-Indonesiakan. Saya tidak mengatakan bahwa syariat itu harus di Indonesiakan tidak, tetapi pandangan dan gagasan tentang metode penerapan syariat Islam itu pada masing-masing tokoh berbeda. Sehingga bayangan mereka Jakarta itu seperti Riyadh, Surabaya seperti Jeddah, dan seterusnya. Sementara konflik-konflik kepentingan di Timur Tengah sangat akut dan berat. Oleh karena itu, NU dan Muhammadiyah berharap kembali pada tawassut (keseimbangan) dan I’tidal (tengah-tengah), bukan tathorruf (kekerasan) dan irhab (teror). Ini didukung oleh proses Islamisasi di Indonesia. Pertanyaan besar adalah kenapa Islam menjadi 90% di Indonesia, apakah ada perang besar di Indonesia. Hindu, Budha, dan Kejawen, bagaimana ia diproses menjadi Islam 100% tanpa melalui perang agama. Ini yang harus dipelajari, bagaimana metodologinya.
Untuk membendung arus radikalisme, apa yang mesti dilakukan?
Perlu adanya upaya meluruskan kembali pemahaman Islam dan menjaga Islam supaya tidak disalahgunakan di dalam legal organisasi adalah dalam NU dan Muhammadiyah bisa mengambil peran. Baik melalui ulama, cendikiawan, mubaligh, untuk meluruskan kembali tatacara berislam dalam kondisi Indonesia saat ini. Selain itu, pemerintah juga mesti memberi perhatian lebih besar lagi, terutama ikut menjaga faktor-faktor sosial-politik agar tidak terbuka pintu bagi kemunculan radikalisme-radikalisme dalam bentuk yang lain.

mMmMmmhh..
gOod…
sALuuuuT…
mKasih yA…
bAntu bAngEt bWat tUgas kUL..
sYukrOn kATsirAn..