Radikalisme beragama di Indonesia oleh banyak kalangan dinilai tetap akan ada. Kondisi sosial politik, serta tingkat pemahaman terhadap ajaran agama akan mempengaruhi sejauh mana perkembangan dan dampak dari kemunculan radikalisme beragama. Namun demikian, dari hasil survei sebuah lembaga penelitian akhir-akhir ini menunjukkan, para pendukung radikalisme dari kelompok minoritas Islam di Indonesia ternyata sangat kecil. Porsinya tidak lebih dari lima persen, papar hasil survei tersebut.
Sementara itu, cendekiawan Muslim yang mantan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra, juga tidak percaya bila proporsi umat Islam Indonesia yang radikal itu besar jumlahnya. Meski begitu, memang tidak bisa dinafikan bahwa kelompok-kelompok radikal memang ada, tapi tidak sampai 9 persen. “Nah, sekarang tugas pemimpin agama, pemimpin politik, dan pemerintah untuk memberikan penyadaran. Sebab, bagaimanapun tindakan radikal dengan menggunakan kekerasan itu tidak ada justifikasinya dalam agama,” ujarnya.
Untuk mengatasi radikalisme, Azyumardi berharap segera dilakukan pendekatan yang komprehensif. Bukan hanya dilakukan melalui tindakan berbasis keagamaan, tindakan yang bersifat peningkatan kesejahteraan ekonomi dan perlingungan sosial juga harus dilakukan secara bersamaan.
“Kalau dilihat akar radikalisme itu muncul dari ketidakadilan. Bukan hanya akibat tindakan oligarkhi pemerintah Amerika Serikat, persoalan kemiskinan dan kesulitan ekonomi yang membelenggu kalangan umat juga menjadi penyebabnya. Kita tidak hanya bergerak dalam satu sektor, misalnya hanya mengambil tindakan yang bersikap keagamaan,” tegasnya.
Beberapa hari lalu, Menteri Pertahanan, Juwono Sudarsono, menuding kelompok Islam radikal saat ini melakukan penyusupan ke partai-partai Islam. Kelompok Islam radikal ini, kata dia, menunggu suatu saat yang tepat untuk terciptanya radikalisasi Islam. Pernyataan itu disampaikan Juwono dalam diskusi Ramadhan di Freedom Institute, Rabu (4/10). Diskusi membahas artikel ‘Rasionalitas Islam Radikal’ karya Quintan Wiktorowicz dan Karl Kaltenthaler dalam jurnal Political Science Quarterly.
“Mereka sebenarnya memusuhi partai Islam, terutama yang ikut pemerintahan, karena dianggap terkontaminasi sistem Barat. Namun, karena tak punya kekuatan, mereka masuk ke parpol Islam itu,” kata Juwono yang mengaku berbicara dalam kapasitas pribadi, bukan menteri.
Penyusupan, kata Juwono, mirip cara PKI yang memasukkan anggotanya ke berbagai partai pada tahun 1960-an. Saat itu, kader komunis masuk ke partai-partai yang dianggap mewakili kepentingan kaum borjuis untuk mengubahnya menjadi partai yang radikal. Juwono menyebut PKI di Indonesia kemudian gagal menjalankan agendanya Karena situasinya belum matang. Otokritik kalangan PKI menyebut Aidit dan Nyono –dua tokoh utama PKI– terlalu memegang teori Mao Tse Tung yang mengandalkan revolusi dari kaum petani. Bukan teori kaum komunis Rusia yang mengandalkan pertentangan kelas dalam masyarakat kapitalis industri sesuai Karl Marx. “Jadi, PKI itu gagal karena mereka komunis Indonesia, tapi ‘muatan lokalnya’ kurang,” kata Juwono.
Namun, Juwono memastikan kelompok Islam radikal yang bercita-cita mendirikan khilafah ini akan gagal. Pasalnya, kata dia, ideologi yang diusung kelompok ini tidak bermuatan lokal. Kegagalan kelompok ini, Juwono memprediksi, akan sama seperti yang dialami PKI.
Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, terdengar prihatin dengan pernyataan Juwono. Menurut dia, pernyataan itu hanya memberi stigma negatif kepada partai-partai Islam. Tudingan seperti itu, kata dia, mirip cara-cara yang digunakan Orde Baru. Seharusnya, kata dia, Juwono tidak membuat pernyataan panas tanpa bukti, apalagi dalam bulan Ramadhan. “Kalau memang punya bukti, langsung tunjuk hidung partai mana yang dimaksud,” ujarnya saat dikonfirmasi kemarin.
Reaksi keras juga disampaikan Wakil Sekretaris Jenderal PPP, Lukman Hakim Saifuddin. Menurut dia, Juwono –sebagai politikus maupun analis politik–tidak pantas menuding seperti itu. Apalagi, kata dia, faktanya cita-cita mendirikan negara Islam sudah ditinggalkan.
Penyesalan juga disampaikan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB), Effendi Choirie. “Tugas Menhan bukan untuk membuat pernyataan politik. Menhan tidak lagi mengurusi ideologi parpol,” ujarnya.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Andi Yuliani Paris, menilai istilah kelompok radikal adalah istilah yang dibuat oleh orang-orang yang tidak mengenal Islam secara mendalam.
