Terorisme tak pernah mati. Perang bersama melawan ancaman ini pun harus dilakukan terus menerus. Tewasnya Umar Al-Faruk yang diduga sebagai salah satu dalang terorisme di Asia Tenggara oleh tentara Inggris di Irak, tidak akan mengurangi ancaman terorisme kawasan, termasuk di Indonesia.
“Terorisme adalah kegiatan yang berdasar pada ideologi dan politik. Sama sekali tidak bergantung salah satu figur tertentu,” ujar Kepala Desk Antiteror Kementerian Politik, Hukum dan HAM, Ansyaad Mbai. Karena itu, lanjut Ansyaad, ancaman terorisme di Indonesia akan tetap ada, terutama dalam beberapa bulan ke depan dengan tewasnya suami dari seorang WNI, Mira Agustina itu.
Sebelumnya, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar membenarkan bahwa teroris yang dibunuh tentara Inggris di Irak beberapa hari lalu adalah Umar Al-Faruk, tokoh Al-Qaeda yang ditangkap di Indonesia tahun 2002. “Iya benar. Kita sudah cek dengan counterpart kita,” kata Syamsir . Namun, Syamsir belum mengetahui apakah jenasah Umar Al-Faruk yang memiliki istri dan anak di Bogor Jawa Barat bisa dibawa ke Indonesia. “Itu tergantung keluarga dan negara, apalagi dia bukan WNI,” jelasnya.
Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengungkapkan yang harus dilakukan
untuk memerangi terorisme di Indonesia adalah perang fisik dan ideologi. Perang fisik dilakukan oleh Polri dan perang ideologi akan dilakukan oleh para ulama dan tokoh agama.
Menurut Wapres, perang fisik dilakukan polisi dalam rangka penegakan hukum dan mencari pelaku terorisme. Sedangkan perang ideologi hanya bisa dilakukan orang yang memiliki ideologi atau memegang dasar-dasar agama kuat, yaitu para ulama dan sebagainya. Kedua perang tersebut, kata Wapres, harus dilakukan secara bersama-sama. Perang fisik akan berkurang, jika perang ideologi berjalan dengan baik. “Jadi pemberantasan terorisme tersebut memang harus berjalan seiring,” tegasnya.
Wapres menjelaskan, dalam kasus teroris di Indonesia saat ini, pelaku banyak ditangkap, namun karena ideologi teroris tetap jalan maka menumbuhkan pelaku-pelaku baru. “Misalnya, yang terjadi hari ini ditangkap 10 orang. Ideologi jalan terus yang ekstrim bisa mendidik lagi 15-50 orang, itulah hebatnya,” kata Jusuf Kalla saat menjelaskan soal perang ideologi dimaksud.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, menyatakan bahwa perlu ada kekuatan yang berada di tengah untuk meredam terjadinya radikalisme dan terorisme atas nama agama. “Kekuatan moderat diyakini akan mampu meredam kedua masalah tersebut,” katanya.
Hasyim yakin sikap ini kelak akan menjadi alternatif yang akan ditempuh setiap kalangan, baik tingkat lokal maupun global. Sebab, kini telah terlihat pihak-pihak yang terlibat konflik yang tentu mengusung radikalisme mulai kelelahan. Baik Barat maupun Timur, tambah Hasyim, kini juga telah memiliki kesadaran untuk segera menyudahi konflik yang selama ini terjadi.
“Ini merupakan perkembangan yang menarik di mana kalangan umat Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan agama lainnya tak ingin lagi ajaran agamanya dicemari oleh kehendak politik suatu kelompok. Ataupun, digunakan untuk melakukan kegiatan radikal dan teror,” kata Hasyim. Bahkan, dalam sebuah pertemuan lintas agama beberapa waktu silam, jelas Hasyim, Dewan Gereja Protestan Dunia, secara terbuka meminta maaf atas ketidakmampuan mereka mencegah pemerintahan sejumlah negara untuk melakukan agresi terhadap negara lain.
Hasyim menambahkan, radikalisme yang terjadi baik di tingkat lokal maupun global tak hanya bersifat secara fisik. Tetapi, juga bersifat pemikiran. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan radikalisme secara fisik lebih kecil nilainya dibandingkan dengan radikalisme lainnya. Bayangkan saja kerusakan yang harus diterima oleh masyarakat ketika ada sekelompok orang yang melakukan pembongkaran paradigma agama. “Namun, kedua radikalisme ini mestinya memang tak boleh hidup,” kata dia.
Sementara, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyatakan radikalisme dan terorisme memang tak dibenarkan oleh ajaran agama. Islam, kata dia, tak membenarkan tindakan kekerasan tersebut yang kerap memakan korban orang-orang yang tak berdosa. Sayangnya, Barat kerap mencitrakan Islam sebagai teroris.
Di sisi lain, ujar Din, dalam menghadapi tantangan yang ada, yaitu meredam radikalisme dan terorisme, umat Islam memang harus melihat ke dalam dirinya sendiri. Umat Islam harus menciptakan sebuah strategi peradaban untuk menghadapi semua tantangan.
