Islam moderat merupakan pandangan keagamaan yang mempunyai akar historis sejak deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia. Kelapangdadaan dan keterbukaan sejumlah tokoh Muslim untuk menerima Pancasila sebagai dasar bernegara dan berbangsa merupakan ijtihad politik yang paling bermakna bagi perjalanan Islam di kemudian hari.
Pada tahapan ini, Islam dikontekstualisasikan dan diharapkan dapat memberi dorongan moral bagi perubahan sosial. Pandangan seperti ini, bukan pandangan yang serta-merta, tetapi hasil refleksi teologis dari hadist Nabi SAW, “Mencintai Tanah Air adalah salah satu keimanan”.
Islam moderat berpandangan, keterlibatan agama secara praktis ke dalam negara hanya akan memandulkan nilai luhur yang terkandung dalam agama, karena agama akan menjadi ajang politisasi dan kontestasi. Karena itu, fungsi agama yang tepat adalah kontrol dan pendorong perubahan sosial, bukan formalisasi yang bersifat kaku.
Namun yang menjadi tantangan Islam moderat di masa mendatang adalah situasi global yang kian tidak menentu serta menampakkan hegemoni yang memungkinkan munculnya resistensi kultural yang bersifat radikal dan anarkis, selain kebijakan politik nasional yang tidak memihak kaum lemah. Hal-hal seperti ini akan turut menghambat kampanye Islam moderat di Tanah Air.
Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, menyatakan kekuatan moderat diyakini merupakan kekuatan yang berada di tengah untuk meredam terjadinya radikalisme dan terorisme atas nama agama. “Kekuatan moderat diyakini akan mampu meredam kedua masalah tersebut,” ujarnya di sela-sela Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (ICIS) II di Jakarta, akhir Juni 2006.
Hasyim meyakini sikap ini kelak akan menjadi alternatif yang akan ditempuh setiap kalangan, baik tingkat lokal maupun global. Sebab, kata dia, kini telah terlihat pihak-pihak yang terlibat konflik yang tentu mengusung radikalisme mulai kelelahan.
Baik Barat maupun Timur, ujar Hasyim, kini juga telah memiliki kesadaran untuk segera menyudahi konflik yang selama ini terjadi. Kecenderungan itu juga terlihat dari kalangan umat beragama yang tak mau lagi simbol agama atau agama itu sendiri digunakan untuk memperkuat hegemoni politik maupun ekonomi. “Ini merupakan perkembangan yang menarik di mana kalangan umat Islam, Hindu, Kristen, Budha, dan agama lainnya tak ingin lagi ajaran agamanya dicemari oleh kehendak politik suatu kelompok. Ataupun, digunakan untuk melakukan kegiatan radikal,” lanjutnya.
Bahkan dalam sebuah pertemuan lintas agama beberapa waktu silam, jelas Hasyim, Dewan Gereja Protestan Dunia, secara terbuka meminta maaf atas ketidakmampuan mereka mencegah pemerintahan sejumlah negara untuk melakukan agresi terhadap negara lain.
Hasyim menambahkan, radikalisme yang terjadi baik di tingkat lokal maupun global tak hanya bersifat secara fisik. Tetapi, juga bersifat pemikiran. Bahkan, kerusakan yang ditimbulkan radikalisme secara fisik lebih kecil nilainya dibandingkan dengan radikalisme lainnya. “Bayangkan saja kerusakan yang harus diterima oleh masyarakat ketika ada sekelompok orang yang melakukan pembongkaran paradigma agama. Bandingkan dengan sebuah radikalisme yang hanya memecahkan kaca, misalnya,” ingatnya.
Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Andalas Padang, Bustanuddin Agus, menambahkan, Islam moderat secara institusional lahir untuk menjawab agenda kampanye antiterorisme dan radikalisme yang menyudutkan Islam. “Sebagai lawan atau pasangan kata moderat adalah radikal atau garis keras,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin, menyatakan radikalisme dan terorisme memang tak dibenarkan oleh ajaran agama. Islam, kata dia, tak membenarkan tindakan kekerasan tersebut yang kerap memakan korban orang-orang yang tak berdosa.
Untuk menyelesaikan masalah ini, kata Din, memang harus dilakukan dengan cara dialog. Namun, ingat dia, dialog yang dilakukan harus dalam posisi yang sepadan. Tak ada pihak yang dianggap superior maupun inferior. Di sisi lain, dalam menghadapi tantangan yang ada yaitu meredam radikalisme dan terorisme, umat Islam memang harus melihat ke dalam dirinya sendiri. “Umat Islam harus menciptakan sebuah strategi peradaban untuk menghadapi semua tantangan,” tegasnya.
