Perda Syariah Alternatif Membangun Moral Bangsa

Peraturan Daerah (perda) bernuansa syariat Islam saat ini telah diberlakukan lebih-kurang di 22 kabupaten dan kotamadya di seluruh Indonesia. Beberapa daerah yang sudah melahirkan perda tersebut antara lain, Pemkab Cianjur (Jawa Barat), Pemkot Tangerang (Jawa Barat), Pemkot Makassar (Sulawesi Selatan), dan Pemkot Padang (Sumatra Barat). Sementara sejumlah daerah hendak meniru perda itu, sebagian masyarakat lainnya justru memprotes pembuatan perda tersebut.

Anggota Komisi III DPR RI dari Partai Persatuan Pembangunan (PBB) Lukman Hakim Syaefuddin menganggap nilai-nilai Islam telah hidup selama ratusan tahun, seperti halnya nilai adat dan Barat. Nilai-nilai itu, kata dia, bisa diserap ke dalam peraturan perundangan sepanjang untuk kemaslahatan bersama.

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring menyatakan, pemerintah bisa saja menguji ulang perda-perda bernuansa syariat Islam. “Coba diuji dululah, jangan main potong kompas saja. Karena itu juga kumpulan aspirasi rakyat,’’ ingatnya. Tifatul juga mengaku setuju dalam jangka panjang Indonesia harus memiliki sistem hukum modern yang kuat, seperti Inggris Raya. Namun, ia mengingatkan, jangan hanya perda syariat Islam saja yang diutak-utik. “Menurut catatan kami, ada sekitar 12.000 perda yang kini bermasalah. Tapi, kenapa tak disentuh. Padahal perda syariat, seperti perda anti-maksiat, itu aspirasi masyarakat lokal,” ujarnya.

Anggota Komisi III DPR dari Partai Amanat Nasional (PAN), Patrialis Akbar beranggapan perda-perda itu dibuat dengan cara yang demokratis. ‘’Perda itu isinya kan mengajak kepada kebaikan, kenapa harus dimasalahkan dengan menyudutkan Islam segala,” tegasnya.

Patrialis mengungkapkan, jika memang alasannya kebhinekaan, kenapa perda di Bali yang mengatur tentang perayaan Nyepi dan perda tentang cara pembakaran mayat di Toraja tidak diusik. “Kenapa hanya Syariat Islam yang digembar-gemborkan?” katanya. Chozin Cumaedy anggota DPR dari fraksi Persatuan Pembangunan melihat perda bernuansa Syariat Islam dari tiga pendekatan. Pertama dari perspektif demokrasi, kata dia, perda yang ada sudah disusun secara konstitusional. Dari segi kewenangan pembuatan perda merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan ketiga, perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa ke arah kebaikan.

Sementara itu di tempat terpisah , Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, masalah perda bernuansa Syariat Islam yang saat ini diperdebatkan merupakan urusan pemda bersangkutan. Selama tidak melanggar undang-undang atau aturan di atasnya, keberadaan perda itu tidak menjadi masalah.

‘’Prinsipnya semua hukum yang ada tak boleh bertentangan dengan undang-undang atau aturan di atasnya,” kata Jusuf Kalla. Selama ini, kata Kalla, hukum-hukum yang ada di Indonesia telah banyak yang dipengaruhi oleh hukum Islam. Sebenarnya, lanjut dia, sejak dahulu banyak undang-undang positif negara Indonesia yang justru untuk menjalankan syariat, contohnya UU Haji dan UU Zakat. “Jadi jangan dicurigailah,” kata Kalla.

Menurut Kalla, selama ini banyak perda yang menafsirkan sesuatu dengan istilah syariat. Padahal sebenarnya hal itu merupakan hukum umum biasa bukan syariat Kalla, mencontohkan Perda Antipelacuran d Kabupaten Tangerang. “Pelacuran dalam undang-undang nasional kita dilarang. Dan pelacuran itu sebenarnya hukum umum bukan hukum syariat. Mungkin itu hanya isilahnya saja. Jadi biarkan saja itu urusan Pemda,” kata Kalla.

Selain itu, Kalla juga mencontohkan UU tentang Minuman Keras dan sebagainya. Dengan sedikit berkelakar, Kalla juga mencontohkan adanya suatu aturan tentang pakaian yang dikenakan. “Misalnya ada aturan kalau hari jumat pakai baju koko. Nah apanya yang salah,” kata Kalla. Lebih jauh Kalla menegaskan bahwa undang-undang di setiap negara pastilah dipengaruhi oleh kondisi yang hidup di negara yang bersangkutan. Untuk di Indonesia, menurut Kalla, tentu hukum yang ada akan dipengaruhi oleh Hukum Islam dan hukum Adat.

Ahli hukum Islam Rifyal Kabah, menilai muatan Syariat Islam dalam perda-perda itu tidak perlu dikhawatirkan. Apabila ada keberatan, yang bersangkutan bisa mengajukan judicial review ke MA. Semangat daerah mencetak perda syariat Islam, kata Rifyal, juga wajar sebab hukum Islam memang mewarnai Indonesia. Bahkan beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan memiliki falsafah lokal yang bersumber dari hukum Islam.

Perkembangan zaman, terutama adanya arus modernisasi, menurut Rifyal, menimbulkan perubahan perilaku masyarakat. Daerah-daerah melihat ada ketidakcocokan. Lalu muncul keinginan agar kehidupan mereka diatur dengan hukum Islam Saat ini, melalui lembaga legislatif, ada kesempatan membuat perda yang bermuatan Syariat Islam. “Maka terciptalah perda-perda itu,” jelasnya.

CategoriesUncategorized

Leave a comment