Maraknya tindak korupsi bukan saja telah mengancam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tapi juga telah menelantarkan masa depan bangsa ini di masa mendatang. Keterpurukan di hampir seluruh lini kehidupan, dan menurunnya daya beli masyarakat, kian memperparah kondisi akibat tindakan segelintir koruptor yang memperkaya diri dengan uang haram. Semua akibat korupsi. Mengakhiri tindak tercela ini, butuh waktu panjang, hingga mungkin satu-dua generasi mendatang. Ini urusan mentalitas, yang tentu saja tidak mudah mengobatinya. Ormas dan lembaga pendidikan Islam pun tak luput dari praktek demikian. Lantas, sejauhmana upaya pemberantasan korupsi? Bagaimana shock terapi yang patut diterapkan? Dan apa yang bisa dilakukan kalangan ulama? Menelusuri lebih dalam masalah ini, tim At-Tanwir mewawancarai mantan menteri agama dan intelektual yang juga tokoh Muhammadiyah, KH Dr dr Tarmizi Taher, MD. Petikannya:
Menurut Anda, sejauhmana efektifitas pemberantasan korupsi saat ini?
Hemat saya, pemberantasan korupsi sekarang ini sudah cukup bagus, paling tidak, hingga kini sudah sampai pada tahap ketakutan para pejabat atau pimpinan. Jadi, kasus mark up misalnya, yang dulu cukup marak di lingkungan birokrasi dan pemerintahan, sekarang ini sudah sangat berkurang. Para pimpinan dan pejabat tampak seperti tiarap. Tapi saya kira ini harus jalan terus dan lebih tegas lagi tindak pemberantasannya. Seperti kasus mark up, harus diteliti apakah sistemnya yang salah atau karena faktor lain. Maksud saya, sistem, yakni saat membeli barang harga sudah tinggi, sementara saat penggunaan barang harga turun. Ada perubahan harga. Nah ini harus diteliti oleh KPK atau BPK. Kalau ini yang terjadi, berarti sistemnya yang salah. Istilahnya, Programming Budgeting System (PBS) harus disesuaikan, apakah masih layak atau tidak. Tapi kalau yang terjadi sebaliknya, berarti orangnya, telah terjadi penyelewengan wewenang. Selain itu, para pejabat juga harus diberikan gambaran suatu kasus seperti masalah pencegahan agar tak terjadi kasus korupsi. Pada aspek ini, penting juga adanya perlindungan saksi pelapor, misalnya pelapor kebetulan bawahan, sementara yang dilaporkan adalah atasannya. Ini bisa mengancam karir bawahan. Di sinilah pentingnya perlindungan saksi, jaminan terhadap hak saksi.
Tapi ini kan baru sebatas permukaannya saja, belum menyentuh pada aspek mental, padahal korupsi ini kan masalah mental?
Ya, mental itu kan dibentuk dari lingkungan terkecil, yakni keluarga, lalu masyarakat sekitar dan lingkungan kantor tempat bekerja. Misalnya, ada tetangganya yang memiliki mobil mewah, atau rumah mewah, ada kecurigaan dari mana duitnya. Ini mesti diteliti. Kesejahteraan pegawai juga harus diperhatikan karena salah satu faktor orang korupsi adalah keterpaksaan lantaran gaji tak mencukupi.
Lantas apa yang harus dilakukan agar terjadi reformasi mental?
Memang butuh waktu panjang. Ahli sejarah bilang, perubahan mental perlu waktu tiga generasi. Artinya lebih dari 100 tahun baru bisa berubah. Itupun harus disertai dengan komitmen segenap masyarakat dan para pemimpin negeri ini. Jadi, hemat saya, budaya malu di sini menjadi salah satu jalan. Artinya, tanamkan rasa bersalah dan malu bila akan melakukan tindak korupsi. Dengan demikian tidak akan melakukannya. Selain itu, media massa juga berpengaruh. Media jangan banyak menayangkan tontonan atau tayangan yang mengumbar kemewahan. Ini dapat memicu orang berlomba menumpuk harta, antara lain dengan cara haram tadi, mengkorupsi uang rakyat dan negara.
Persoalannya, korupsi ini kan sudah demikian kuat membudaya, bahkan hingga ke lembaga pendidikan dan ormas Islam?
Itu fakta, tak bisa dipungkiri. Pesantren misalnya, tradisinya kan warisan turun temurun. Tidak ada laporan pertanggungjawaban kepada publik. Karena akuntabilitasnya tidak ada, mendorong bagi suburnya KKN, terutama para kyainya. Demikian pula ormas-ormas Islam. Jalan keluarnya, harus ada akuntabilitas yang transparan, terbuka, jelas, dan pasti. Budaya transparan dan akuntabilitas kalau perlu menjadi salah satu way of life pesantren dan ormas Islam. Ingat, ini soal amanah, bukan hal sepele.
Kalau peran pemerintah sendiri?
Saya kira cukup positif. Kepemimpinan SBY-JK ini harus didukung sehingga upaya pemberantasan korupsi dapat terwujud sesuai harapan masyarakat luas. Yang saya catat di sini adalah ketegasan dan kejujuran, serta keteladanan. Buat pemimpin mendatang, ini juga harus menjadi pegangan. Karena itu, saya melihat ulama dan umara di sini berposisi strategis, sebagai teladan. Kalau keduanya rusak, kata Nabi Saw, maka rusaklah suatu bangsa. Ke depan, mudah-mudahan pemberantasan korupsi semakin dapat memenuhi rasa keadilan dan harapan rakyat Indonesia.
