Korupsi, tentu semua orang tahu kalau itu perbuatan buruk dan menyengsarakan. Semua agamapun mencelanya. Karena korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), negeri ini ambruk, meruntuhkan segala sendi-sendi peradaban kemanusiaan. Tentu amat ironis, justru di negeri yang mayoritas penduduknya beragama, korupsi malah demikian kuatnya membudaya di Indonesia. Tak heran bila negeri kaya sumber alam namun rakyatnya melarat ini, tercatat sebagai negara terkorup ke-6 di dunia.
Benarlah kiranya apa yang ditulis budayawan Ong Hok Ham dalam bukunya, Politik, Korupsi, dan Budaya, bahwa korupsi telah menjadi bagian hidup dan budaya bangsa Indonesia. Sejak zaman Belanda, tulis Ong Hok Ham, korupsi telah melekat dalam sendi-sendi birokrasi dan politik. Budaya Katebelece misalnya, sudah ada sejak masa penjajahan Belanda. Katebelece sendiri berasal dari bahasa Belanda yang berarti Surat Sakti. Gunanya untuk mempengaruhi kebijakan/keputusan untuk kepentingan atau tindakan yang sifatnya menguntungkan pribadi atau kelompok. Budaya itu terwarisi secara kuat hingga hari ini.
Di masa kini, jurus dan siasat para koruptor menggerus uang rakyat dan negara semakin jitu. Bagai orang kehausan, setiap ada kesempatan dimanfaatkan, sekecil apapun keuntungan harta yang dikorupsi. Tak hanya di meja birokrasi saja, korupsi juga telah merasuki meja partai politik, ormas Islam, pondok pesantren, lembaga pendidikan, dan sudut-sudut kehidupan sosial lain yang dapat disusupi atau dijadikan ladang persemaian korupsi. Padahal, dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab.
Berbagai survei yang dilakukan lembaga asing, seperti Global Corruption Index atau Transparency International Index, dan dalam negeri beberapa tahun terakhir menunjukkan, Indonesia termasuk rangking teratas dalam peringkat korupsinya. Bahkan, tindak pidana korupsi tidak lagi terpusat di Jakarta, tetapi menyebar ke seluruh daerah, menjadi penumpang gelap dalam proses otonomisasi dan desentralisasi.
‘’Jika agama akan memainkan peran lebih besar dalam pemberantasan korupsi, itu dapat dilakukan dengan meningkatkan peran institusi keagamaan, seperti pengurus masjid atau gereja, organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, dan lain-lain,’’ ujar Rektor UIN Jakarta Azyumardi Azra kepada tim At-Tanwir.
Menurut sebuah penelitian Partnership for Governance Reform, kata Azyumardi, lembaga-lembaga seperti ini memiliki kredibilitas tertinggi dibandingkan lembaga-lembaga lain sejauh menyangkut kemungkinan terjadinya korupsi dan penyelewengan-penyelewengan lain. ‘’Sayangnya, lembaga-lembaga seperti ini lebih tertarik pada masalah-masalah ibadah dan ritual mahdhah (pokok) daripada “ibadah sosial” seperti pemberantasan korupsi dan penciptaan good governance; atau dalam kasus NU atau Muhammadiyah pada urusan- urusan rutin organisasi,’’ cetusnya.
Pemimpin Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Gus Sholah, menilai yang penting saat ini di Indonesia adalah menjalankan nilai-nilai yang terkandung dalam syariat Islam. “Saat ini kita ribut ketika makan daging babi, tetapi nyolong duit proyek kita tidak merasa bersalah-apa-apa,” ungkapnya seraya menambahkan bahwa memberantas korupsi dan penegakan HAM juga bisa dianggap menjalankan syariat Islam.
Menurut Gus Sholah, dalam Islam terdapat dua hubungan, yaitu hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia. Untuk hubungan dengan Allah, hal itu merupakan urusan individu, sedangkan hubungan antar manusia harus diatur oleh negara dan dalam hal ini sarat dengan prinsip keadilan. Ketua Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hendarman Supandji, mengakui kualitas dan kuantitas sumber daya manusia aparat penegak hukum dalam memberantas korupsi harus lebih ditingkatkan.
‘’Saya harus hati-hati mengaturnya agar apa yang diharapkan masyarakat tercapai. Saya terus memotivasi mereka agar bekerja sesuai keinginan masyarakat. Tentu dimulai dengan proses percaya-memercayai antara kami semua. Tak ada kompromi dalam penanganan korupsi,’’ tegasnya. Menurut Hendarman, apa yang dikatakan benar harus benar, salah ya salah. ‘’Saya akan menyatakan, kalau dalam perkara itu ada 10 tersangka akan saya katakan 10, kalau tersangka lima ya lima. Tidak mau kompromi, tak akan ada rekayasa,’’ jaminnya..
Hendarman mengingatkan bagi seluruh penegak hukum bahwa, tak ada pekerjaan di dunia ini yang tak bisa dilaksanakan apabila bisa dekat dengan Allah. ‘’Tak ada yang sulit atas seizin Allah,’’ jelasnya.

One Reply to “”