Memasuki abad ke-21, harus diakui bahwa umat Islam tertinggal jauh dengan peradaban Barat. Menjadi keniscayaan yang tidak bisa ditawar bahwa dalam proses penyehatan dan menyegarkan peradaban Islam yang lemah adalah dengan memperbaiki sistem dan tujuan pendidikan Islam. Tanpa itu, membangun umat Islam dari ‘tidur panjang’ adalah sebuah utopia.
Prof Dr Sidiek Baba dari Universitas Islam Antarbangsa Malaysia menyatakan, umat Islam harus menyadari, di dalam Al Quran terdapat hampir 200 ayat tentang ilmu pengetahuan. Azas inilah, kata Sidiek, yang melahirkan sejumlah besar ilmuwan dan saintis Islam yang mengawali tradisi ilmu dengan tradisi hafalan, taksir, ketrampilan berbahasa, falsafah, logika, dan musik.
‘’Kemudian menemukan bidang ilmu lain seperti matematika, astrologi, kesehatan, sains, dan teknologi hingga akhirnya mampu menampilkan peradaban yang unggul selama 600 tahun,’’ ungkap Sidiek usai memberikan makalah dalam seminar Tajdid Pemikiran Islam di Sepang, Malaysia, dua pekan lalu.
Namun demikian, kata Sidiek, lebih dari 600 tahun umat dan peradaban Islam mengalami kemunduran. Kalau pun ada kebangkitan, lanjut dia, itu hanya berlaku secara setempat atau terpecah di kalangan tertentu ‘’Belum lagi penjajahan Barat lebih dari 400 tahun yang menyebabkan umat Islam terpinggirkan. Selain itu adanya kemorosatan hubungan ulama-ilmuawan dengan umara atau pemimpin karena pemimpin lebih mementingkan politis,’’ ingatnya.
Intelektual Muslim asal Malaysia Osman Bakar menyatakan, sebenarnya ilmuwan yang baik dan Muslim yang baik bukan dua perkara yang saling bertentangan. Dari segi teori ajaran Islam, lanjut dia, pembentukan ilmuwan baik yang berjiwa Islam adalah kondisi yang wajar. ‘’Sejarah Islam telah membuktikan, kemajuan itu pernah tercapai,’’ cetusnya.
Untuk mengembalikan kejayaan peradaban Islam, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Prof Dr Azyumardi Azra, menyatakan, kemajuan ilmu pengetahuan Muslim di dunia tergantung sistem pendidikan yang kemudian mengikuti transmisi dan implantasi pengetahuan secara holistik. ‘’Sistem pendidikan Islam sebaiknya berdasarkan pengetahuan agama, tapi pada saat yang sama berisi ilmu pengetahuan,’’ jelasnya.
Menurut Intelektual Muslim Indonesia Prof Dr Zamakhsari Dhofir, jumlah pesantren telah melonjak dari 4200 pada 1980 menjadi lebih dari 16 ribu pada 2006. Demikian pula jumlah madrasah yang pada 1980 baru sebanyak 26 ribu, kini pada 2006 telah mencapai 40 ribu. ‘’Lonjakan jumlah pesantren dan madrasah justru spektakuler sejak 1998, karena dalam 8 tahun terakhir pesantren meningkat dari sekitar 9.700 menjadi hampir 16 ribu,’’ ungkapnya.
Namun Zamakhsari menyadari, sebagian akar tradisi pendidikan Islam di Indonesia dan Asia Tenggara akar tunjangnya semakin lemah kekuatannya untuk menanggung beban tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan umat Islam Asia Tenggara yang kian dituntut untuk memainkan peran dalam percaturan peradaban dunia. Kedua, mayoritas peserta didik di pesantren dan madrasah yang jumlahnya sekitar 8 juta hampir 80 persen berasal dari keluarga miskin pedesaan. ‘’Bahkan dari sensus yang dilakukan Departemen Agama pada 2004, lebih dari 20 persen orang tua murid dan santri berpenghasilan di bawah 200 ribu,’’ papar Pengasuh Pesantren Sains Al-Quran, Wonosobo, Jawa Tengah ini.
Selain itu, mantan rektor IAIN Semarang ini, dukungan dana penyelenggaraan pendidikan dari pemerintah dan warga Muslim yang tergolong kaya belum memadai bagi upaya meningkatkan mutu pendidikan pesantren dan madrasah. Padahal, kata dia, warga Muslim memiliki ribuan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sebenarnya siap untuk dikembangkan menjadi lembaga-lembaga pendidikan modern dengan biaya yang jauh lebih murah daripada membangun yang baru.
Menurut Zamakhsari, tak ada alasan sama, pesantren tak mampu atau tak mau mengembangkan universitas bagi upaya meningkatkan pengembangan ilmu pengatahuan masyarakat Muslim. ‘’Yang mereka perlukan adalah akses ke kekuasaan pemegang kebijakan yang memiliki kemauan dan menyediakan educational resources yang mereka perlukan untuk memajukan lembaga-lembaga mereka,’’ jelasnya.
Pakar pendidikan Islam Indonesia, Prof Dr Nasaruddin Umar menyatakan, dalam menentukan arah pendidikan yang tepat, modernisasi tak berarti sekulerisasi. ‘’Karena itu upaya menuju integrasi ilmu sekuler-ilmu agama, itu seperti apa dan bagaimana caranya?’’ cetusnya. Guru Besar UIN Jakarta ini menambahkan, kondisi seperti itu memerlukan para elite dan tenaga pendidikan untuk menyamakan persepsi mengenai integrasi ilmu dan bagaimana menerapkannya dalam sistem pendidikan Islam.
Lebih jauh Nasaruddin menyatakan, dalam hal ini pendidikan Islam perlu mengembangkan istilah-istilah studi Islam yang cocok dan konsisten. ‘’Dengan mengembangkan konsep-konsep Quran dan Hadits dalam ilmu-ilmu keagamaan dan sains, selain menerjemahkan dan pembumian atau lokalisasi ilmu umum dalam pengajian dan studi Islam,’’ jelasnya.

One Reply to “”