Daniel Pipes, Ketua Organisasi Perdamaian Amerika Serikat (AS) dan juga anggota Kongres AS, pernah menulis dalam The National Interest, Winter 2001, mengenai hubungan radikalisme dalam Islam dengan kemiskinan. Pipes mencatat banyak tokoh Muslim yang berpendapat bahwa Muslim militan dan radikal muncul karena kemiskinan.
Di antara pendapat yang dicatat Pipes adalah pendapat Suleyman Demirel, mantan presiden Turki yang mengatakan, “Selama di dunia ini masih ada kemiskinan, inequality, dan ketidakadilan, maka radikalisme akan terus berkembang di dunia.”
Asumsi bahwa penyebab radikalisme adalah karena kemiskinan juga muncul di kalangan politisi Barat. Mantan Presiden AS Bill Clinton berpendapat, akar gerakan Muslim militan ada pada semakin memburuknya kondisi sosial-ekonomi di masing-masing negara. Martin Indyk, seorang diplomat AS, juga memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengurangi bahaya Muslim militan harus terlebih dahulu memecahkan masalah ekonomi, sosial dan politik yang menyebabkan gerakan itu menjamur.
Di Indonesia, para pelaku aksi teror, misalnya pelaku pengeboman di depan Kedubes Australia Kuningan, bisa diasumsikan dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sebut saja Ahmad Hasan yang merupakan karyawan PT Pertani Blitar dan Agus Ahmad seorang karyawan PT Sajira di Jakarta. Jejak radikalisme mereka tidak ada. Apalagi, mengaitkan mereka dengan pendidikan militer di Afghanistan maupun Mindano Filipina, tentu tidak berhubungan.
Pelaku bom bunuh diri Bali tahun 2005 lalu juga berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sebut saja dua pelaku di antaranya, yakni Salik yang menjadi pedagang pakaian di Pasar Cikijing Majalengka, Misno yang pernah menjadi kuli bangunan dan sedang mencari pekerjaan. Dari pemetaan sementara, para pelaku aksi terror berasal dari kantong-kantong wilayah miskin di Banten, Ciamis, Majalengka (Jawa Barat), Semarang, Solo (Jawa Tengah), Ngawi, dan Lamongan (Jawa Timur).
Guru Besar FISIP UGM dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof Amien Rais menyatakan, radikalisme yang muncul dalam konflik masyarakat, terutama dalam gerakan keagamaan dan konflik antaragama, tidak lain dipicu pemiskinan ekonomi dan pengangguran yang meluas. “Kondisi ini membuat rakyat putus asa dan mudah sekali diprovokasi,” ingatnya.
Amien mengakui, permasalahan mendasar munculnya radikalisme ini adalah terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan pada kelompok masyarakat, terutama kelompok minoritas. Ia pun menyadari, sampai saat ini pemerintah Indonesia belum sadar, pemiskinan ekonomi menyebabkan munculnya radikalisme.
Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi menegaskan, sejatinya penyebab lahirnya radikalisme, bukan berasal dari aspek agama tetapi kombinasi dengan masalah politik ekonomi dan sosial. “Ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan juga memicu radikalisme,” katanya kepata At-Tanwir. Hasyim menegaskan, kaum radikal di Indonesia yang lebih menginterpretasikan agama secara sempit dengan mengeksploitasi potensi perbedaan ketimbang menilainya sebagai potensi kemanusiaan. “Cara berfikir sempit itu ada di setiap agama,” jelasnya.
Menurut Hasyim, konflik Arab-Israel yang melebar menjadi konflik Timur Tengah yang tak terselesaikan memperparah kondisi yang ada. Muslim, kata dia, berhadapan dengan kepentingan Israel dan Amerika serikat. “Konflik itu berakumulasi terus ditambah,” ingatnya.
KH Nuril Huda, dari lembaga dakwah NU, menambahkan, diperlukan adanya pemahaman kepada faktor-faktor dasar radikalisme dan harus terus dikaji secara mendalam serta tidak berstandar ganda. Di samping itu, kata Nuril, diperlukan sikap yang adil dalam mengelola tatanan dunia ke depan baik bagi Barat maupun Islam untuk membangun peradaban baru. “Cara ini dilakukan karena Islam sebagai agama dakwah wajib disampaikan ajarannya kepada siapapun hanya saja, wajah Islam harus berwujud keadilan, damai, toleran, dan memberi solusi pada problem kemanusiaan. Nilai-nilai itu harus dikedepankan,” jelasnya.
Di lain pihak, Ketua Departemen Data dan Informasi MMI Fauzan Al Anshori berpendapat, radikalisme bukan muncul semata-mata faktor kemiskinan. “Radikalisme muncul karena perlakukan deskriminatif, ini tak terjadi hanya di Negara Islam tapi juga non-Muslim, tidak semata faktor ekonomi, tapi akibat melawan hegemoni AS,” jelasnya.
Contoh terkini, kata Fauzan, adalah aksi anarkis yang dilakukan para pendemo PT Freeport di Jayapura. “Itu bukan dilakukan orang Islam, tapi warga dari berbagai agama yang bereaksi karena ketidakpuasan dengan hegemoni AS,” cetusnya.
Juru Bicara HTI Ismail Yusanto juga tidak sependapat jika radikalisme dikaitkan dengan faktor kemiskinan. “Yang jelas mereka yang melakukan teror itu akibat ada infiltrasi dan stigma negatif yang menyusup dalam gerakan Islam. Yang jelas tidak ada hubungan antara kemiskinan dan tindakan radikal yang dilakukan sebagian umat Islam,” tegasnya.
