Kekerasan Beragama tak Menyelesaikan Masalah

Masalah kekerasan dalam beragama hingga kini masih kerap terjadi, bahkan dari waktu ke waktu cenderung meningkat. Banyak pengamat memprediksikan, masalah ini akan terus mewarnai kehidupan beragama di masa mendatang. Kekerasan itu tak hanya terjadi pada pengikut antar agama, tetapi juga antar pemeluk satu agama.

Di masa lalu, kita kerap diributkan dengan kekerasan antara pengikut NU dan Muhammadiyah, khususnya di kampung-kampung, hanya masalah sepele, yakni perbedaan furu’ (cabang amalan agama) semisal masalah qunut dan jumlah rekaat tarawih. Syukurlah, kini masalah itu nyaris tak dijumpai lagi. Tapi kini tren kekerasan itu berpindah ke masalah aliran dalam satu agama, seperti yang dialami oleh pengikut Ahmadiyah. Masalah ini pun terus bergulir menyusul aksi kekerasan yang dialami para Jamaah Ahmadiyah di berbagai daerah, seperti di Parung, Bogor, Bandung, dan NTB beberapa waktu lalu.

Menurut mantan menteri agama KH Dr Tarmizi Taher, kekerasan itu mestinya tak perlu terjadi bila semua pihak duduk bersama dan mencari solusi guna mengakhiri polemik keberadaan dan keyakinan Ahmadiyah di Indonesia. “Prinsip kita adalah satu bangsa, satu negara, apalagi sesama Muslim. Berarti satu saudara. Maka dialog harus menjadi pilihan terbaik untuk mencari jalan keluar,” papar Tarmizi kepada tim At-Tanwir.

Dengan dialog, lanjut ketua dewan direktur CMM ini, dapat ditemukan di mana persamaannya, di mana perbedaannya. Kalau memang terjadi perbedaan atau penyimpangan ajaran Ahmadiyah, lanjutnya, harus diluruskan dan dikembalikan ke ajaran yang sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Apalagi dalam era globalisasi sekarang ini, tambah Tarmizi, dialog merupakan sesuatu yang niscaya dan akan membantu kita memahami satu sama lainnya.

Hal senada juga ditegaskan Ketua Umum DPP Ahmadiyah KH Abdul Basit. Menurutnya, jalan dialog akan dapat membantu saling pengertian antar umat Islam, juga antara pemerintah dan Ahmadiyah. “Sayangnya, selama ini pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama, terkesan menutup pintu dialog dengan warga Ahmadiyah. Pemerintah selalu mengatakan ajaran Ahmadiyah sesat. Padahal dengan dialog, pemerintah akan mengerti apa itu Ahmadiyah,” tegas Basit seperti dikutip dari detik.com, beberapa waktu lalu.

Ia menegaskan, bila terus mendapat tekanan dan pengikut Ahmadiyah merasa tidak aman, maka jalan meminta suaka politik ke Australia atau Kanada akan terus ditempuh. Basit menambahkan, hingga kini kondisi Jamaah Ahmadiyah di daerah-daerah penampungan amat memprihatinkan. Janji pemerintah untuk memberikan bantuan dan jaminan keamanan, katanya, hingga kini tak kunjung tiba.

Meski jalan dialog diserukan berbagai kalangan, namun tidak demikian dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menurut Ketua Komisi Fatwa MUI, KH Ma’ruf Amin, sekarang ini bukan lagi masalah dialog, tapi bagaimana Jamaah Ahmadiyah itu dikembalikan kepada ajaran yang benar. “Mereka sudah jelas menyimpang. Karena itu MUI meminta mereka kembali ke ajaran Islam yang lurus. Itu permasalahan inti,” kata Ma’ruf ketika dihubungi reporter At-Tanwir.

Berkaitan dengan aksi kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah, Ma’ruf tidak sepakat bila itu ada kaitannya dengan fatwa MUI. “Pilkada saja ada kekerasan. Jadi itu (kekerasan—red) sifatnya hanya lokal saja, di mana warga setempat memang memiliki temperamen keras, lalu mereka merasa tidak puas dengan keberadaan Ahmadiyah, lantas diluapkan dalam bentuk kekerasan. Jadi tak ada hubungannya dengan MUI,” jelas Ma’ruf.

Tokoh NU ini menambahkan, bisa saja Ahmadiyah mendirikan paguyuban tersendiri, tapi jangan membawa nama atau atribut Islam. Pihaknya pun tidak setuju bila pengikut Ahmadiyah meminta suaka politik ke negara lain. Suaka politik, kata Ma’ruf, hanya merupakan ancaman belaka, supaya mereka diperhatikan.

Menanggapi usulan Depag yang meminta agar Jamaah Ahmadiyah mendirikan agama baru di luar Islam, mantan Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Ahmad Syafii Maarif menyatakan, semua pihak harus lebih hati-hati menyikapi masalah Ahmadiyah. “Usulan itu harus dikaji lagi, apakah baik atau tidak. Jadi jangan gegabah membuat keputusan,” katanya usai memberikan orasi ilmiah dalam peluncuran buku Memahami Indonesia danbuku Ensiklopedia Golongan, Mazhab, Aliran, Partai, dan Gerakan Islam Seluruh Dunia yang diselenggarakan Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), pekan lalu.

Guru Besar UNJ ini meminta semua pihak duduk bersama, berdialog mencari jalan keluar terbaik. Dengan begitu, kekerasan akan dapat dihindarkan dan tidak mengganggu kampanye terhadap keberagamaan yang moderat yang digulirkan selama ini.

CategoriesUncategorized

2 Replies to “Kekerasan Beragama tak Menyelesaikan Masalah”

  1. Islam berbagai rupa adalah sebuah kewajaran dan fithrah, begitu banyaknya yang pengen selamat dengan cara yang instan, menunjukkan masyarakat kita enggan sungguh-sungguh berproses, bermental juang mencai dan berbagi kebaikan dan kebenaran.
    MUI pun harus dikritik juga, bagus sih udah ada 10 kriteria aliran sesat (kenapa nggak dari dulu) so tafsirnya bagaimana, lagian yang jadi korban juga halaqoh, liqo, kelompok studi Islam yang ada entah itu anak tarbiyah, jamaah tablgh, aktivis hizbuz tahrir, dicurigai sepihak.
    Akhirnya kalo anakmuda mo mengaji, ortu pada curiga bukannya ikutmendampingi, diskusi.
    Atau bisa jadi semua ini terlalu politis..hanya Tuhan yang Maha Tahu. http://www.fadlyriza.com

Leave a comment