Dalam beberapa tahun belakangan, isu terorisme kerap dilekatkan dengan Umat Islam, khususnya pesantren. Penangkapan Amrozi, ‘santri’ asal desa Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur sebagai pelaku pemboman di Bali, kian memperkuat stempel yang telanjur melekat itu.
Sebelumnya, Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan Ponpes Al-Mukmin, Ngruki, Solo, disebut-sebut terlibat dalam pengeboman tersebut. Bahkan, ia juga diduga pembawa jaringan Jamaah Islamiyah (JI) sebagai sarang terorisme ke Indonesia, seperti yang selama ini ditudingkan Amerika Serikat (AS).
Sungguh tidak adil menggeneralisasi bahwa umat Islam identik dengan kekerasan. Munculnya fenomena “obok-obok” Ponpes dengan tuduhan pelaku pengeboman di sejumlah tempat di Indonesia, memperkuat kesan Ponpes sebagai sarang teorisme. Benarkah demikian?
Menurut KH Achmad Cholil Ridwan, salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), semua karena Barat yang dipelopori Amerika percaya bahwa setelah perang dingin selesai, mereka mendapat tantangan dari umat Islam. ‘’Mereka ingin meredam dengan berbagai cara termasuk membuat stigma bahwa muslim yang taat adalah muslim fundamentalis yang radikalis, seperti FPI dan Mujahidin,” ujar Cholil.
Fenomena demikian, kata Cholil, menjadikan peran ponpes terdistorsikan. Ponpes diidentikkan dengan sarang terorisme. Padahal realitanya antara terorisme dan ponpes adalah dua hal yang sangat bertolak belakang. Ponpes identik dengan nilai-nilai moralitas, sedangkan terorisme identik dengan kekerasan.
Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, munculnya stigma Ponpes Ngruki dan beberapa ponpes lainnya adalah sekolah untuk teroris, berasal dari pers Barat. Maftuh mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan kontrol, apalagi menutup Ponpes yang dianggap ‘radikal’. ‘’Kami akan memperbanyak kunjungan dan dialog untuk mengatasi munculnya isu radikalisme yang berasal dari pondok pesantren,’’ kata Maftuh, usai memberi sambutan dalam Silaturahmi Internasional Alumni Pondok Pesantren Islam Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (21/1).
Sementara, Mantan Ketua MPR Amien Rais di Jakarta, Senin (23/1), dalam dialog publik ‘Kontroversi Gerakan Teroris di Indonesia,’ mengatakan, Umat Islam jangan sampai terhanyut, terjebak, atau terdikte oleh terorisme. “Ada kemungkinan isu terorisme merupakan skenario besar yang ingin menghancurkan umat Islam dan bangsa Indonesia,’’ tandas Amien. Karena itulah, kata dia, Umat Islam harus bisa memukul balik serangan isu terorisme yang sebelumnya menempatkan Umat Islam sebagai tertuduh.
Kurikulum Jihad
Meski di lingkungan pesantren terdapat kurikulum tentang jihad – yang dituding oleh banyak kalangan sebagai pemicu lahirnya pemikiran radikal – namun kenyataannya penerapan jihad tak seperti yang dibayangkan masyarakat pada umumnya. Dalam kurikulum jihad, terdapat tuntunan bagaimana berjihad yang benar, termasuk adab dalam peperangan. “Jihad ada dalam kitab fikih yang lengkap. Di sana diajarkan bahwa dalam suatu peperangan tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita, serta aturan-aturan lain dalam perang,” tegas Cholil Ridwan.
Hanya, persoalan hingga munculnya aksi-aksi kekerasan karena pemahaman yang salah terhadap makna jihad. Ayat-ayat Al-Quran tentang jihad disalahtafsirkan dan ditelan mentah-mentah oleh sebagian oknum santri. “Kalau mau jujur, oknum-oknum tersebut selain dari pesantren sebenarnya sudah dididik di tempat lain,” ujar Masdar Mas’udi, Ketua Pusat Pemberdayaan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Jadi, kata dia, kalau ada satu dua orang oknum, ya jangan lantas semua disamaratakan.
Terorisme timbul dari perasaan tidak nyaman, perasaan tertekan yang tak mendapatkan jalan keluarnya. Sehingga untuk mengatasinya dengan membuka pintu dialog selebar-lebarnya antarkelompok-kelompok yang berkepentingan.
Senada dengan Maftuh, menurut Masdar, stigma terorisme yang melekat pada umat Islam selama ini tak lebih hanya perasaan sentimen Barat terhadap umat Islam. “Terorisme sendiri sebenarnya bukan berasal dari Indonesia, apalagi dari pesantren. Terorisme mulai dikenal setelah aksi Macan Tamil dan kelompok pejuang di Irlandia mulai diketahui publik dunia,” kata Masdar.
Cholil menambahkan, bila ingin menghancurkan terorisme dari bumi Indonesia tidak dengan cara mengobok-obok pesantren, melainkan dengan menyebarluaskan pemahaman tentang bagaimana jihad yang benar. “Umat Islam harus kembali ke ajaran yang benar, menuntut ilmu dengan benar dan berusaha menjadi seorang Muslim yang kaffah,” katanya.
