Ketidakadilan Picu Terorisme

Maraknya isu terorisme lima tahun terakhir, membuat umat Islam kerap menjadi tertuduh. Kalangan pesantren, yang selama ini dinilai moderat dan toleran, beberapa oknum atau santrinya terbukti sebagai pelaku terorisme, seperti Imam Samudra, Amrozi, dan lainnya. Untuk mengetahui lebih detil mengapa hal itu bisa terjadi, berikut wawancara tim At-Tanwir-Merdeka dengan intelektual Muslim yang juga mantan Menag dan Dubes RI untuk Norwegia, KH Dr Tarmizi Taher, MD. Petikannya:

Kerap kali umat Islam menjadi tertuduh dalam isu terorisme. Mengapa ini bisa terjadi?

Kita harus melihat persoalan ini secara jernih. Dalam dunia yang makin kompleks, era globalisasi, kita mengharapkan dunia yang lebih adil, terbuka, dan saling menghargai. Namun, kemajemukan ras, suku, bangsa, ternyata tidak menjadi alat untuk mendekatkan satu sama lain. Kita melihat ada ketidakadilan di situ. Contoh ketidakadilan yang kini mengemuka, Iran akan mengayakan uranium untuk tujuan perdamaian, kesehatan, pertanian, dan lain sebagainya. Tapi, serta merta negara Barat dan AS sebagai leader-nya, justru menjadi hakim atau polisi terhadap Iran. Padahal pada saat yang sama, ketika Korea Utara yang juga memiliki nuklir, pendekatan yang dilakukan lebih dialogis. Jadi kita melihat ketidakadilan perlakuan Barat kepada dunia Islam. Kita mestinya melakukan pendekatan terhadap konflik harus lebih tenang, tidak emosional. Tidak serta merta mengobarkan semangat perlawanan. Jadi ini sebenarnya masalah ketidakadilan yang selalu menjadikan umat Islam sebagai tertuduh.

Dengan kata lain, isu terorisme tak berdiri sendiri?

Saya kira demikian. Terorisme akan tetap berkembang selama dunia ini tetap tidak adil, baik dalam hal politik maupun ekonomi. Strategi terorisme dalam ilmu militer, digunakan oleh kelompok, masyarakat dan negara untuk menghadapi lawan yang lebih kuat. Mereka akan menggunakan taktik atau strategi perang gerilya. Tapi, sekarang telah berubah menjadi terorisme. Mengapa? Pertama, mereka ingin menunjukkan eksistensinya, dan kedua ingin menimbulkan keresahan dan kekuatan pada masyarakat yang kuat itu.

Lalu, bagaimana respons masyarakat Islam?

Kita melihat masyarakat Islam saat ada konflik dengan masyarakat non Islam, khususnya Barat, ada dua respons. Pertama, respons tergesa-gesa; meski masih lemah dan terpecah belah mereka langsung bereaksi. Sehingga modal yang masih sedikit akan habis, SDM kita mati dan yang tersisa SDM yang kurang terdidik. Kedua, respons masyarakat Islam khususnya yang menjadi minoritas di tengah-tengah komunitas non Islam, pendekatan yang dilakukan lebih bijaksana, lebih cerdas. Mereka menuntut supaya pengertian masyarakat non Islam terhadap umat Islam lebih ditingkatkan lagi. Islam bukan agama konflik, tapi Islam agama damai, sangat bersahabat, dan toleran.

Anda tadi katakan, terorisme terkait erat dengan eksistensi. Bisa dijelaskan?

Motif yang mendorong timbulnya terorisme lebih pada ketidakadilan dan ketidakberdayaan menghadapi globalisasi, sehingga mereka akhirnya termajinalisasi. Di saat seperti itulah, terorisme menjadi alat yang canggih dalam mewujudkan kepentingan politik tertentu dunia Barat. Saya kira, hal itu tak bisa dihadapi dengan cara-cara yang emosional. Jika umat Islam melakukan pendekatan yang lebih bijaksana, cerdik dan cerdas dengan menghitung kemampuan yang ada, maka kita dalam mempromosikan Islam sebagai agama yang moderat, modern, dan maju, dapat tercapai, dan dapat menangkis tuduhan terorisme secara elegan dan cerdas. Sekarang zamannya telah berubah. Jika kita perhatikan, sasaran dakwah Islam di Barat sekarang sangat besar. Yaitu, anak-anak muda penerus generasi yang memiliki ruling culture, budaya yang lagi mengarahkan dunia, tapi tidak dalam arti moral dignity yang tinggi, agak one-sided. Akhirnya mereka menimbulkan arogansi ilmu, arogansi kekuatan ekonomi, arogansi teknologi. Nah umat Islam harus merespons tantangan itu dengan pilihan kedua.

Kalau pesantren sering dituding dalam soal terorisme, apa itu berarti pesantren gagal merespons globalisasi atau karena faktor lain?

Dari sudut pandang pendidikan, tak satu pun orang, baik di Indonesia maupun di dunia yang dapat membantah peran pesantren dalam menghidupkan semangat kebangsaan kita untuk merdeka, mulai dari Tjokroaminoto, Agus Salim, hingga peran PKS sekarang. Tetapi, peran pesantren yang demikian baik dari awal dijajah sampai sekarang, dibajak oleh segelintir orang yang melihat agamanya secara hitam putih: saya atau kamu, kawan atau lawan. Dengan kesadaran yang kini sudah berkembang baik di pesantren, forum mubaligh atau dai, saya kira tuduhan pihak luar bahwa pesantren sebagai alat terorisme terlampau berlebihan. Di sinilah perlunya komunikasi modern digunakan oleh semua pesantren untuk membersihkan pandangan-pandangan negatif yang melekat pada pesantren.

Soal lontaran Wapres Jusuf Kalla untuk mengawasi pesantren yang dianggap radikal, bagaimana pendapat Anda?

Saya melihat gagasan Pak Jusuf Kalla untuk mengawasi pesantren terlampau berlebihan. Kata-katanya agak sedikit tajam, kurang dibungkus. Apa yang ditunjukkan oleh Wapres adalah suatu gambaran tentang peranan kaum teroris. Ada dua langkah besar atau pendekatan yang harus diambil oleh pemerintah. Pertama, anggaran pesantren harus tetap mengalir dari pemerintah meskipun jumlah pesantren sangat banyak. Pemerintah bisa membuat rating pesantren. Dan jika masih kurang, bantuan dapat berupa tenaga guru pelajaran umum yang berkualitas dan perpustakaan yang bagus. Pemerintah harus membina pesantren, bukan justru dijauhi. Dulu, Prof Mukti Ali memiliki gagasan memodernisir pesantren dengan memasukkan pelajaran umum. Jika ini dapat dilakukan, maka anak-anak pesantren akan dapat berkompetisi dengan anak-anak sekolah umum.

Leave a comment