
Beberapa menit lewat pukul 10 Kamis malam (6/8) sebuah pesan pendek masuk.
“Guh, Mas Willy wafat. Bang Yan baru dapat kabar dari Iwan.”
Pengirim pesan pendek itu adalah Yan Daryono, salah seorang sahabat WS Rendra yang memperkenalkan saya secara pribadi kepada si Burung Merak. Hari Senin yang akan datang (10 Agustus) Yan Daryono yang biasa saya panggil Bang Yan akan menggelar pameran lukisan di Jakarta Media Center – Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih. Saya dan kru Rakyat Merdeka Online menjadi organizer pameran itu.
Adapun Iwan yang dimaksud Bang Yan adalah Iwan Burnani, juga salah seorang sahabat dekat Rendra. Bukan itu saja, Mas Iwan juga adik ipar rendra. Ia menikah dengan Mbak Lili, adik dari istri Rendra, Ken Zuraidah yang biasa disapa Mbak Ida.
Sebelum mendengar kabar duka ini, saya dan Bang Yan meminta kesediaan Mas Iwan membacakan sajak-sajak Rendra dalam pembukaan pameran lukisan Bang Yan. Dua sajak yang akan dibacakan Mas Yan adalah “Seonggok Jagung di Kamar” dan “Membela Masa Depan”. Setelah peristiwa duka ini, kami berencana akan menambah jumlah puisi Rendra yang akan dibacakan dalam pembukaan pameran nanti.
Setelah pesan pendek dari Bang Yan tentang kematian Rendra maka lahirlah berita ini:
WS Rendra Wafat
Kamis, 06 Agustus 2009, 22:48:19 WIB
Laporan: Teguh Santosa
Jakarta, RMOL. Kabar duka kembali terdengar.
WS Rendra, si Burung Merak, meninggal dunia malam ini (Kamis, 6/8).
Sebelum meninggal dunia, Rendra yang salah satu karya monumentalnya adalah puisi berjudul “Seonggok Jagung di Kamar” menderita sejumlah penyakit.
Sekitar satu bulan lalu Rendra memulai pengobatan cuci darah karena ginjalnya mengalami gagal fungsi. Rendra sempat dirawat di RS Cinere, RS Jantung Harapan Kita, dan RS Mitra Keluarga Kelapa Gading. Ia menghembuskan nafas terakhir di RS Mitra Keluarga Depok.
Kabar kematian Rendra diterima dari Iwan Burnani, sahabat Rendra di Bengkel Teater yang juga adik iparnya.
…dan seterusnya.
Menyusul berita itu, saya menurunkan dua tulisan kecil yang berkaitan dengan kondisi terakhir Rendra.
Setelah tulisan itu, saya menurunkan beberapa tulisan lain yang berkaitan dengan Rendra. Lalu bergerak menuju Bengkel Tater di Cipayung, Depok. Dari sana saya bergerak menuju rumah Clara Sinta alias Au, salah seorang anak Rendra, di perumahan Pesona Khayangan, Depok.
Seperti di Cipayung, di Pesona Khayangan ratusan orang telah berjubel, berkerumun di depan rumah Au. Puluhan, atau mungkin lebih dari seratus wartawan juga sudah siaga. Beberapa mobil kru televisi diparkir di depan rumah. Beberapa jurnalis teve melaporkan suasana duka di rumah Au. Teman-teman Rendra satu persatu mendapat giliran diwawancarai media.
Saya masuk ke ruang tengah dari pintu depan.
Sebuah dipan kayu diletakkan di tenga-tengah ruangan. Di atasnya terbaring jasad Rendra diselimuti kain batik. Wajahnya ditutup kain. Beberapa kerabat yang handai taulan yang hendak melihat wajah Rendra dipersilakan mengangkat kain putih tipis itu.
Beberapa orang lainnya mempersiapkan kain kafan untuk Rendra. Jumat dinihari itu juga, sekitar pukul 02.00, Rendra akan dimandikan dan dikafankan. Jenazahnya akan dibawa ke Bengkel Teater di Cipayung usai shalat Subuh dan dimakamkan usai shalat Jumat.
