Oleh: Prof Dr Ahmad Syafii Maarif
Hubungan Islam dan demokrasi, sesungguhnya sangat erat dan komplementer. Meski di masa lalu, harus diakui, ada sekelompok intelektual yang memperdebatkan apakah Islam kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi atau bahkan sebaliknya.
Beberapa waktu lalu ada pernyataan menarik dari ulama terkenal, Syekh Yusuf Qaradhawi, dalam kunjungannya ke Indonesia awal bulan ini. Menurutnya, Islam selaras dengan nilai-nilai demokrasi. Ia menunjuk bukti Indonesia yang mayoritas Muslim terbesar di dunia, mampu membumikan secara bersamaan nilai-nilai Islam dan demokrasi.
Kalau kita merujuk masa Nabi Muhammad, kehidupan berdemokrasi dengan menjunjung asas musyawarah dan menjunjung perbedaan antar pemeluk agama dan kepercayaan saat itu, membuktikan Islam mampu menjadi pilar kehidupan yang demokratis. Ini juga dapat dibaca dalam Piagam Madinah, yang memuat pasal-pasal kebersamaan, persamaan di mata hukum, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, bukan hal baru bila Indonesia dinilai mampu mempraktekkan nilai-nilai Islam dan demokrasi secara damai dan berbarengan. Seperti yang pernah saya tulis dalam buku Tuhan Menyapa Kita (2006), mantan presiden Amerika, Jimmy Carter dalam observasinya terhadap pemilu 2004 menyatakan, “Warga Muslim mampu menerapkan pemerintahan demokratis yang sesungguhnya.” Padahal di sisi lain, politikus elit AS di Washington dan media massa Barat sempat tak percaya, Islam mampu mewujudkan demokrasi.
Membincang Islam dan demokrasi juga tidak lepas dari nilai-nilai keadilan. Mengapa? Karena keadilan menjadi spirit utama tegaknya Islam dan demokrasi. Al-Quran Surat An-Nisa ayat 58: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar Lagi Maha Melihat.”
Ayat ini mencerminkan beberapa prinsip: Pertama, berlaku amanat. Setiap orang mampu menjaga kehidupan materinya dan bekerja untuk menghidupi keluarga. Seorang mukmin tidak diperkenankan untuk berlaku curang, bohong dan khianat. Kedua, berlaku adil dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan manusia.
Ibnu Taimiyah mengomentari ayat tersebut: “Wahai para pemimpin Muslim, Allah memerintahkan kepada kalian untuk berlaku amanat dalam kepemimpinan kalian, tempatkanlah sesuatu pada tempat dan tuannya, jangan pernah mengambil sesuatu kecuali Allah mengizinkannya, jangan berbuat zalim, berlaku adil adalah keharusan dalam menetapkan keputusan hukum di antara manusia. Semua ini adalah perintah Allah yang ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Jangan pernah melanggarnya, karena itu perbuatan dosa.”
Imam Qurthubi menyampaikan bahwa, “Ayat di atas berlaku umum untuk semua manusia yang menjadi pemimpin kalangan Islam. Keadilan dalam distribusi pendapatan, menghancurkan setiap gerakan kezaliman, dan menegakkan keadilan dalam pemerintahan. Seorang pemimpin Muslim harus bisa berlaku amanah setiap menerima titipan, menyampaikan kesaksian dan lain sebagainya. Perintah untuk berlaku adil dan amanah sama halnya dengan perintah shalat dan ibadah lainnya.”
Berlaku amanat mungkin suatu sikap langka di negeri ini. Para politikus yang berkoar-koar tentang amanat rakyat yang akan diperjuangkannya hanyalah isapan jempol belaka. Rakyat ibarat burung pungguk merindukan bulan, yang suaranya mereka perebutkan saat kampanye dan mereka lupakan setelah menduduki jabatan sebagai anggota dewan terhormat. Inilah drama politik yang berlangsung di negeri kita. Meski demikian, masih ada orang-orang yang memegang amanat tapi suaranya tak kedengaran dikalahkan oleh kebisingan dan keriuhan suara kaum hipokrit (munafik).
Mudah-mudahan mereka sadar dan serius mewujudkan amanat yang telah diberikan rakyat.