Persatuan Masyarakat Indonesia Bukan Hanya Ada di Buku Cerita

dsc00665

Pluralisme, kebhinnekaan dan keberagaman di Indonesia sedang menghadapi ancaman. Kekerasan terhadap penganut keyakinan dan kepercayaan yang berbeda seakan menjadi hal yang biasa dalam pembicaraan juga pemberitaan sehari-hari.

Dikutip dari Rakyat Merdeka Online.

Menurut penelitian yang dilakukan Moderate Moslem Society (MMS) yang dipimpin oleh intelektual NU Zuhairi Misrawi, misalnya, ditemukan bahwa kekerasan yang berlatar belakang perbedaan agama dan keyakinan meningkat di tahun 2010 dari tahun sebelumnya. Juga diperoleh kesan kuat betapa kekerasan itu terjadi karena ketidakmampuan pemerintah, baik dalam hal peradilan, maupun pengamanan dan perlindungan terhadap warga negara.

Hasil penelitian MMS itu dipaparkan Zuhairi dalam seminar di Seminari Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah, hari Sabtu kemarin (23/7). Seminar itu diselenggarakan untuk menyambut seabad Seminari Mertoyudan yang merupakan sekolah pastur pertama di Indonesia.

Dua jurnalis yang ikut menjadi pembicara dalam seminar itu juga menyampaikan keprihatinan serupa. Wakil Pimred Kompas, Trias Kuncahyono, mengatakan bahwa bukan tidak mungkin Indonesia akan dihadapkan pada situasi sulit seperti yang dialami Yugoslavia di akhir era 1990an.

Di sisi lain, dia juga mengatakan bahwa fenomena kekerasan berlatar belakang perbedaan keyakinan dan kepercayaan tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di beberapa negara lain, termasuk Rusia dan Yunani.

Sementara Pemred Rakyat Merdeka Online, Teguh Santosa, berpendapat bahwa keberagaman bukan barang baru di Indonesia. Ia adalah keniscayaan yang ada dan hidup jauh sebelum Republik Indonesia merdeka.

“Keberagaman masyarakat kita dan jalinan persatuan di antaranya bukan hanya ada di dalam buku cerita dan buku yang diajarkan di sekolah-sekolah. Keberagaman itu nyata. Tidak ada satu keluarga pun yang tunggal, dari buyut sampai cicit, baik dalam hal agama maupun suku. Di tengah perjalanan pasti ada perkawinan silang dan bentuk pertemuan kekerabatan lainnya,” urai Teguh yang juga dosen mata kuliah konflik di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu.

Dia mengingatkan bahwa pluralisme seakan menjadi persoalan manakala bersentuhan dengan dua faktor lain yang saling berkaitan, yakni ekonomi dan politik.

Dan, ketika terjadi ketimpangan dalam dua medan ini, medan ekonomi dan medan politik, maka semua aktor yang berkepentingan dapat dengan mudah menggunakan isu identitas untuk memperlihatkan ketidaksukaan dan perlawanan.

“Ini juga membuktikan bahwa identitas is socially constructed. Untuk mencegah hal seperti ini berulang, dibutuhkan otoritas yang kuat, berwibawa dan dapat dipercaya oleh semua stake holders,” ujarnya lagi.

Secara terpisah, salah seorang staf khusus Presiden SBY, Andi Arief, terlihat antusias mengikuti diskusi ini dari jarak jauh.

Sebelum berkantor di Istana Negara, Andi Arief dikenal sebagai aktivis. Di era 1997-1998 ia dikenal sebagai aktivis mahasiswa dan ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Ia juga menjadi salah seorang motor penggerak kelompok pro kemerdekaan Timor Leste. Dengan catatan seperti itu dapat disimpulkan Andi Arief pun memiliki komitmen yang kuat pada isu pluralisme.

Dalam pernyataan yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online, Sabtu malam, Andi Arief tampaknya khawatir bila pembicaraan mengenai pluralisme belakangan ini akan berujung pada salah persepsi mengenai peranan Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia.

“Bila kita mempelajari kembali sejarah Islam, khususnya di Indonesia, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Balkanisasi mustahil terjadi di Indonesia. Muslim adalah masyarakat yang mengagungkan stabilitas,” katanya.

Bahkan sampai ada semacam adagium yang mengatakan lebih baik dipimpin penguasa kuat daripada kacau balau.

Adapun berbagai kekerasan yang terjadi di Indonesia belakangan ini sesungguhnya tidak dikarenakan perbedaan agama dan keyakinan, melainkan karena persoalan kesenjangan. Dan dalam keadaan seperti itu, umat Muslim Indonesia yang merupakan mayoritas memainkan peranan penting untuk mempersatukan semua anak bangsa.

Bagaimanapun, sambungnya, seperti salah satu kesimpulan sejarawan George McTurnan Kahin, Islam adalah salah satu pondasi Indonesia Raya. Begitu juga kesimpulan studi yang dilakukan sejarawan Daniel S. Lev.

“Sikap politik mainstream Muslim adalah Belanda ikut, Jepang ikut, RI ikut, Soeharto oke, Mega cihui aja, SBY idem juga. Tapi secara serius itulah gambaran stabilitas yang dipuja. Rezim boleh siapa saja, boleh ganti tiap bulan, tapi umat segalanya,” ujar Andi.

Dia juga sepakat, salah satu faktor penting yang harus dimiliki untuk tetap menjaga ikatan kebangsaan ini adalah kepastian hukum yang dapat menjamin kesejahteraan kepada masyarakat umumnya.

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

2 thoughts on “Persatuan Masyarakat Indonesia Bukan Hanya Ada di Buku Cerita”

  1. Salah satu tujuan diturunkannya agama di muka bumi adalah untuk mengatur kehidupan agartidak rusak binasa semuanya, sayangnya hal ini tidak terfokus di benak pemimpin-pemimpin agama kita. Padahal kerusakan-kerusakan di muka bumi terbentang dihadapan mata mereka, dan perbuatan-perbuatan mencegah kerusakan-kerusakan di muka bumi adalah perintah agama mana saja. Lalu apa arti agama jika umat-umatnya demiian terus ?.

  2. Salah satu tujuan diturunkannya agama di muka bumi adalah untuk mengatur kehidupan agartidak rusak binasa semuanya, sayangnya hal ini tidak terfokus di benak pemimpin-pemimpin agama kita. Padahal kerusakan-kerusakan di muka bumi terbentang dihadapan mata mereka, dan perbuatan-perbuatan mencegah kerusakan-kerusakan di muka bumi adalah perintah agama mana saja. Lalu apa arti agama jika umat-umatnya demikian terus ?.

Leave a comment