Yang Tersisa dari Keinginan Menembus Irak

SAYA mengunjungi Abu Kamal di tahun 2003 silam.

Abu Kamal adalah titik terdekat saya dengan Irak. Rencana melanjutkan perjalanan ke Irak melewati kota itu berakhir dengan kegagalan. Saya hanya  bisa melihat bendera Irak berkibar melambai-lambai dan foto raksasa Saddam Hussein berdiri gagah menyambut tamu di negaranya.

“Anda tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Irak. Tidak dari garis perbatasan ini,” begitu kata tentara petugas imigrasi di Abu Kamal.

Tak ada visa untuk masuk Irak, tak ada yang mau menjamin keselamatan saya di negeri yang sedang dihumbalang perang itu. Tidak juga Kedutaan Besar Irak di Damaskus, tempat yang menurut Kedutaan Besar Irak di Jakarta akan memberikan visa kepada saya.

Apalagi petugas imigrasi di Abu Kamal yang hanya melihat-lihat halaman passport saya lalu menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki otoritas untuk meluluskan permintaan saya. Saya memahami alasan ini, sama seperti saya memahami kenekatan saya kala itu.

Malam itu juga kami kembali ke Damaskus. Bis yang kami tumpangi dihentikan tentara Suriah beberapa saat sebelum meninggalkan terminal. Semua penumpang diminta turun. Saya dan dua teman mahasiswa Indonesia di Damaskus yang menemani perjalanan saya dipanggil ke kantor tentara di dalam terminal. Passport kami diperiksa satu persatu.

“Abang diam aja. Biar kami yang jawab pertanyaan mereka,” kata seorang teman.

Setengah jam kemudian, kami dipersilakan kembali ke dalam bis. Menurut mereka, pihak tentara ingin memastikan bahwa saya kembali ke Damaskus dan tidak coba-coba menyusup masuk ke Irak.

Sesampainya di Damaskus saya memutuskan ke Antara, Turki, untuk mengamati situasi masyarakat di negeri itu menjelang perang besar di negeri tetangga mereka. Setelah beberapa hari di Ankara saya kembali ke Damaskus, berharap kali ini ada kesempatan kedua untuk masuk Irak. Tetapi, jawabannya sama: tak ada visa untuk saya ke Irak.

Saya kembali ke Jakarta sekitar seminggu sebelum serangan pertama Amerika Serikat ke jantung Baghdad. Dari ruang redaksi di Jakarta, saya menyaksikan tayangan televisi yang memperlihatkan hujan rudal di tengah malam. Baghdad yang belum sempat saya injak, dikoyak moyak. Patung Sadam di Taman Firdaus yang terkenal itu ditumbangkan kelompok oposisi.

Belakangan saya tahu, mayoritas orang yang berkumpul di Taman Firdaus kala itu adalah jurnalis dari berbagai negara, dan tentara AS.

Setelah tujuh tahun berlalu, malam ini saya mempublikasikan beberapa foto-foto selama kunjungan ke Suriah, khususnya yang berkaitan dengan upaya menuju Irak, baik di Damaskus maupun di Sayyedah Zaenab dan Abu Kamal.

Seperti pada foto pembuka posting ini, foto di atas (dan empat foto berikutnya) memperlihatkan suasana demonstrasi menentang keinginan Amerika Serikat menggelar serangan umum ke Irak. Demonstrasi besar ini terjadi di hari kedua kunjungan saya ke Suriah. Massa berkumpul di Stasiun Kereta Hejaz, berjalan kaki menuju salah satu jalan utama, Jalan Borsaid, menuju gedung Parlemen seperti yang diperlihatkan pada foto pembuka. Beberapa hari sebelum demonstrasi, penyelenggara memasang iklan di sejumlah media massa cetak, juga radio dan televisi.

Bendera Partai Komunis Suriah berdampingan dengan bendera Palestina bertuliskan dua kalimat syahadat dalam demonstrasi besar itu. Tak ada hantu komunis di Suriah yang dikuasai oleh Partai Sosialis Baath. Saya menemukan beberapa selebaran bertulisan Arab berserakan di jalanan. Di pojok atas lembaran-lembaran itu ada gambar palu dan arit. Sepertinya, kertas-kertas itu adalah leaflet pernyataan sikap Partai Komunis Suriah.

Hizbullah, kelompok pembebasan Palestina yang bermarkas di Lebanon, juga ikut dalam demonstrasi itu. Selain Lebanon, Suriah dan Iran juga memberikan dukungan kepada Hizbullah yang didirikan Sayyed Hussein Fadlullah dan kini dipimpin Sayyed Hassan Nasrullah.

Demonstran sedang bersiap-siap di depan Stasiun Kereta Hejaz sebelum bergabung dengan kelompok lain. Minyak adalah alasan di balik perang itu, kata mereka.

Saya naik ke jembatan penyeberangan dan memotret massa yang sedang bergerak ke arah Jalan Borsaid. Di latar belakang adalah stasiun Kereta Hejaz. Diperkirakan sekitar sepuluh ribu orang tumpah di jalanan Damaskus hari itu.

Dengan sedikit modifikasi, potong disana sini, foto ini menjadi profil saya di Facebook sejak lama. Ada yang bertanya-tanya mengapa saya pilih foto ini sebagai foto profil. Bahkan ada orang Irak yang memaki-maki saya karena dianggap tidak sensitif dengan perasaan orang Irak yang menjadi korban pemerintahan Saddam Hussein.

Foto ini diambil di Kedutaan Besar Irak di Damaskus yang saya kunjungi beberapa hari setelah tiba di Suriah. Kedubes Irak di Jakarta mengatakan mereka telah mengirimkan permohonan visa saya ke Baghdad, dan Baghdad berjanji akan memberikannya di Damaskus. Tetapi di Kedubes Irak di Damaskus, petugas mengatakan: tidak ada visa untuk Anda.

Well, untunglah di sana ada foto Saddam Hussein berukuran raksasa, dan inilah hasilnya.

Saya bersama seorang pemuda Irak yang melarikan diri tahun 1991. Dia menentang pemerintahan Saddam Hussein. Tahun 2003 adalah kali pertama ia berusaha untuk kembali ke Irak. Kisahnya dapat Anda ikuti di sini. Dan setelah beberapa tahun sejak pertemuan di Sayyedah Zaenab, dua tahun lalu saya dan Haider, nama anak muda yang sekarang tinggal di Amerika Serikat ini, bertemu di Facebook.

Seperti Haider, saya bertemu dengan Syeikh Ammar Al Ka’by di Sayyedah Zaenab, sebuah distrik kira-kira 10 kilometer dari pusat Damaskus. Pertemuan tepatnya berlangsung di rumah mahasiswa Indonesia yang menuntut ilmu di hauzah-hauzah yang tersebar di Sayyedah Zaenab.

Saya berterima kasih kepada semua teman itu yang dengan senang hati membantu saya bertemu dengan banyak pihak selama kunjungan di Suriah. Persahabatan di antara kami masih berlangsung sampai sekarang. Karena perjalanan ke Suriah itu lah kini saya sering mampir ke Condet.

Dari Syeikh Ammar, dan ulama-ulama Syiah Irak lain yang saya temui di Sayyedah Zaenab, saya mendapatkan banyak cerita tentang relasi antara pemerintah Irak dan kaum Syiah di negeri itu, termasuk tentang kelompok Hizbudakwah. Saya dapat katakan bahwa mereka menentang Saddam dan Amerika bersamaan. Saddam Hussein, demikian pandangan mereka, adalah boneka yang dimanfaatkan Amerika di masa lalu, sebelum keduanya pecah kongsi.

Ini adalah warga Irak yang saya temui di Sayyedah Zaenab. Mobil yang mereka gunakan untuk mengangkut barang ini menggunakan plat Baghdad. Banyak keluarga Irak, umumnya kaum Syiah, yang berkunjung ke Sayyedah Zaenab. Sebagian dari mereka adalah pedagang yang memiliki usaha di Suriah, sebagian lainnya berziarah ke makam cucu Nabi Muhammad SAW, Sayyedah Zaenab binti Ali bin Abu Thalib.

Saya pernah sempat menyusun rencana untuk masuk ke Irak bersama kelompok peziarah yang ingin mengunjungi Karbala di Irak menjelang peringatan Assyura.  Tetapi rencana itu dibatalkan karena beberapa kondisi yang saya sudah lupa.

Oh ya, Assyura adalah hari dimana Hussein bin Ali bin Abu Thalib bersama puluhan pengikutnya dibantai pasukan Yazid bin Muawiyyah di Padang Karbala, Irak sekarang. Yazid adalah penguasa Damaskus dari Bani Umayyah seperti orang tuanya, Muawiyyah, mengklaim diri sebagai amirul mukminin setelah kematian Ali bin Abu Thalib.

Pemerintah Irak berusaha sekuat mungkin memperlihatkan kemampuan dan kekuatan mereka. Salah satunya adalah dengan mengirimkan misi dagang ke sejumlah negara di kawasan Teluk Parsi, termasuk dan tentu saja, Suriah. Pada foto di atas saya sedang mencoba kursi buatan Irak.

Saya bersama ketua delegasi pameran produksi Irak, Ahmad Al Mukhtar. Begitu melangkahkan kaki masuk ke ruang pameran, saya disambut dua foto pemimpin Suriah dan Irak ini, Bashar Al Ashad dan Saddam Hussein.

Seorang wanita pedagang lukisan-lukisan yang dibuat seniman Irak di arena pameran produksi Irak. Saya membeli tembikar berwarna hijau bergambarkan motif kota Baghdad. Tembikar itu masih ada, dan saat saya menuliskan risalah ini, ia tergantung indah di dinding kamar kerja saya.

Ini adalah terminal Abu Kamal. Foto diambil pagi hari, sekitar pukul 06.00 waktu setempat. Kami menumpang bus malam dari Damaskus.

Kelompok pekerja di pasar utama di Abu Kamal. Kepada saya dan dua teman mahasiswa Indonesia (Aji bertopi hijau, dan Hasyim bertopi merah) mereka menanyakan banyak hal. Mulai dari dimana letak geografis Indonesia, sampai apakah perang akan kembali terjadi.

Sungai Efrat yang menghidupi peradaban-peradaban tua di Mesopotamia, antara Turki, Suriah dan Irak sekarang. Bersama Tigris, ia membentuk kota Baghdad yang begitu indah di masa lalu (yang sampai risalah ini saya tulis belum sempat saya kunjungi).

Antrean truk dan mobil dari arah Suriah menuju Irak. Di belakang saya adalah pintu masuk Irak.

Laki-laki di sebelah kiri saya ini adalah Marwan Yakub. Dia supir taksi yang membawa saya berkeliling Abu Kamal, termasuk ke garis perbatasan. Perhatikan cincin di tangan kirinya itu. Setelah foto ini diambil, dia menyerakan cincin itu kepada saya. Dan, sayangnya, kini saya tak tahu dimana cincin itu berada.

Pemandangan di salah satu ruas jalan di Abu Kamal. Hari masih pagi. Kami menelurusi Abu Kamal dengan taksi yang dikendarai Marwan Yakub. Kabut masih menyelimuti Abu Kamal dan angin bertiup kencang membelainya.

Ini juga merupakan pemandangan di salah satu ruas jalan di Abu Kamal. Di sebelah kiri adalah bangunan dari tanah lempung. Saya kira itu bukanlah rumah, melainkan semacam gudang atau tempat persinggahan petani.

Ini adalah bagian yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Marwan membawa kami ke tempat ini: reruntuhan kota kuno Mari peninggalan peradaban Sumeria dan Amorite. Letaknya sekitar 11 kilometer barat laut Abu Kamal di sisi barat Efrat.

Diperkirakan kota kuno ini mulai ditempati manusia sekitar 5.000 tahun silam. Dan puncak kejayaannya diperkirakan antara 2900 hingga 1759 SM ketika Mari ditaklukkan Hamurabi dari Babilonia yang terkenal itu. Sejumlah catatan menyebutkan, Mari mulai ditemukan, atau tepatnya digali, oleh orang-orang Badui pada tahun 1933. Ketika itu Suriah masih di bawah pemerintah kolonial Perancis.

Ahli-ahli arkeologi yang meneliti Mari selama bertahun-tahun menemukan gambaran bahwa kota ini berbentuk lingkaran. Arsitek kota membuat kanal untuk mengalirkan air Sungai Efrat dari utara membelah ke selatan dan akhirnya kembali ke Efrat.

Dari kanan ke kiri: Aji, Marwan dan Hasyim bersama anak kecil yang bersama keluarganya tinggal di sekitar lokasi penggalian kota kuno Mari.

Anak-anak dari keluarga yang tinggal di sekitar kawasan penggalian kota kuno Mari. Saya berharap, suatu hari ini saya dapat bertemu, setidaknya dengan satu dari mereka. Seperti pertemuan saya dengan Haider lah kira-kira.

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

4 thoughts on “Yang Tersisa dari Keinginan Menembus Irak”

  1. Halo Pak Teguh,
    Nama saya Elva, saya seorang dokter umum sekaligus karyawati di salah satu perusahaan asuransi di Jakarta.
    Saya sangat tertarik dengan tulisan Bapak.
    Saya termasuk salah seorang yang berteman dekat dengan Iraqi yang sedang kuliah Master di Malaysia. Saya kenal dari salah seorang teman saya (orang Indonesia) yang kuliah di Universiti Utara Malaysia.
    Mereka (4 orang Iraqi)akan berlibur ke Jakarta , berangkat bersama teman saya yang orang Indonesia, dan saya sudah mengikuti prosedur untuk menjadi sponsor mereka. Setelah mereka juga mengikuti prosedur di KBRI Malaysia, dan lulus dalam wawancara di Malaysia, tiba saatnya saya diwawancara juga di Departemen Imigrasi Jakarta. Sambil menunjukan scan Kartu Mahasiswa mereka, dan sayapun meyakinkan mereka bahwa apabila teman2 Iraqi saya berbuat kriminal di Jakarta, saya mempertaruhkan gelar dokter dan pekerjaan saya karena saya pun akan terlibat dianggap kriminal, tetapi pihak Imigrasi kekeh tidak menyetujui permohonan visa mereka. Padahal mereka ke Jakarta hanya untuk berlibur 7 hari, dan status mereka masih aktif sebagai mahasiswa di Universiti Utara Malaysia. Tetapi tetap saja Bapak – Bapak di Imigrasi (kurang lebih 15 orang yang menginterview saya) tidak menyetujui kedatangan mereka.
    Yang ingin saya ungkapkan disini adalah, berdasarkan pengalaman Bapak di atas, Bapak banyak kenal dengan Iraqi, apakah Bapak menemukan ada Iraqi yang bisa menembus Jakarta ? Bagaimana caranya?
    Saya sangat senang sekali dan berharap Bapak dapat merespon tulisan saya ini. Terima Kasih Pak sebelumnya. Salam.

    1. Selamat malam,
      Saya kira ada juwa orang Iraq yang masuk Indonesia. Beberapa tahun lalu saya pernah bertemu dengan beberapa dari mereka di Jakarta.

      Tetapi saya tidak tahu apakah mungkin dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah memperketat izin masuk ke Indonesia bagi orang Iraq.

      Untuk sementara itu yang dapat saya sampaikan.

      Terima kasih sudah mampir dan memberi respon blog ini.

  2. Pak Teguh,
    Saya menemukan tulisan ini, ditengah keputus asaan saya untuk mendapatkan Letter of Invitation Irak. Saya hanya ingin mengunjungi Baghdad dan Babylon, tapi sampai 3 bulan berusaha mencari tour operator yang bersedia membuat LoI, hasilnya nihil. Apakah setelah sekian tahun berlalu bapak berhasil menembus Irak? Kalau bapak mempunyai info, bolehkah saya dibagi pengalamannya?
    Terimakasih atas respons nya.
    Salam, Fe

Leave a reply to Elva Cancel reply