BEBERAPA tahun lalu, Heru Lelono dikenal sebagai orang dekat Megawati Soekarnoputri.
Di tahun 2004, ia mulai berseberangan dengan Mega, dan balik kanan mendukung Susilo Bambang Yudhoyono. Kini, sebagai Staf Khusus Presiden Bidang Otonomi Daerah, Heru yang juga Sekjen Gerakan Indonesia Bersatu (GIB) itu punya posisi kuat di Istana Negara.
Siang ini (Sabtu, 19/7) ketika memberikan sambutan dalam peluncuran buku kumpulan tulisan dan wawancaranya di sejumlah media yang berjudul “Polytikus Harus Dibasmi”, Heru lelono menyoroti prilaku “ring satu” yang tetap mendukung seorang tokoh walaupun si tokoh ini berbuat salah.
Dukungan yang membabi buta itu didasari oleh ciri ketaatan yang melekat di budaya bangsa Indonesia.
Sayangnya, budaya ketaatan ini seringkali dipelesetkan menjadi budaya kultus individu atau mendewa-dewakan seorang tokoh, kata Heru. Mestinya, sambung dia, tak ada istilah “hidup mati ikut SBY”, “mati urip melu Gus Dur”, atau “pokoke melu urip Mega”, dan sebagainya.
Menurut setidaknya dua kiai pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang dekat dengan Heru, ketaatan yang berubah menjadi kultus individu identik dengan musyrik.
“Hidup mati kita hanya boleh kita gantungkan kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa,” ujar Heru.
Seorang pemimpin juga tak boleh larut dengan puja-puji pendukung dan orang dekat, katanya lagi. Mestinya, sikap pendukung yang mem-backup secara membabi-buta itu harus dipahami sebagai titik awal menuju kehancuran.
“Pemimpin yang hanya berdialog, berpikir bersama para ABS atau Asal Bos Senang akan membuatnya semakin kerdil dan menjadikannya pemimpin yang arogan, nggugu karepe dewe, bahkan menjadi bathil,” demikian Heru.
menurutku sih, ini sikap yang bener meski harus diteliti apakah tidak masuk sikap yang tergantung arah angin