0221
KEDUBES Irak di Damaskus letaknya tepat di depan Kedubes Amerika di Jalan Abu Ja’far. Di gedung itu bukan bendera Irak yang dikibarkan. Tapi bendera Aljazair, warna putih dan hijau horisontal dengan bulan sabit merah di tengah. Selain Irak, Aljazair pun menempatkan perwakilan diplomatiknya di gedung itu. Pintu masuk menuju Kedubes Irak berada di belakang, di depan Jalan Al Muhajirin.
Tiga hari lalu saya ke sana. Tujuan saya cuma satu, mau minta visa masuk ke Irak. Di Jakarta, saya sudah mengajukan permohonan visa kepada Kedubes Irak. Dua kali, bahkan. Yang pertama ditolak secara halus. Mereka bilang, cuma Baghdad yang bisa menentukan, apakah seorang warganegara asing bisa memperoleh visa ke Irak atau tidak. Dan keputusan itu akan turun lama sekali. Bisa jadi satu bulan. Bisa jadi juga, tidak turun-turun.
Pada permohonan berikutnya, saya mendapat angin segar. Saya hadir dalam pertemuan antara Ketua Umum Partai Pelopor Rachmawati Soekarnoputri dengan empat orang utusan Presiden Saddam Hussein. Second Secretary Kedutaan Irak, M Walid M Al Amin juga hadir. Usai pertemuan, diplomat Irak itu berjanji akan memberi rekomendasi agar saya segera memperoleh visa ke Baghdad. Visa itu akan dikeluarkan di Syria. Insyaallah, katanya saat itu.
Nah, kedatangan saya ke Kedubes Irak tiga hari lalu untuk mencari tahu kalau-kalau Baghdad sudah menyetujui permohonan visa saya. Tapi, seorang staf Kedubes Irak berkata, “Tidak ada visa ke Baghdad untuk Anda. Apalagi Anda adalah wartawan.” Saya jawab, “Sampai detik ini banyak wartawan asing yang telah masuk Baghdad. Kenapa saya tidak boleh?”
Tak sepatah kata pun dia menjawab. Dia ngeloyor masuk kembali ke ruangannya, meninggalkan saya di depan pintu.
Dari Kedubes Irak, saya pergi ke Sayyidah Zaenab. Beberapa kawan mengatakan, “Anda bisa ke Irak melalui Sayyidah Zaenab.” Sayyidah Zaenab jadi semacam perkampungan pengungsi Irak di Syria. Mereka ini orang yang lari dari Irak karena merasa tertekan oleh pemerintahan Saddam Hussein. Seperti dalam tulisan saya terdahulu, kebanyakan dari mereka adalah kaum Syiah. Sebagian dari mereka adalah syeikh atau kaum ulama Syiah. Sebagian besar rakyat jelata, kelas pedagang.
“Kalau mereka kaum oposisi, kenapa pula bisa memberi visa kepada saya?” tanya saya. “Anda bisa menggunakan alasan ziarah ke Irak,” jawabnya.
Saya dibawa ke sebuah restoran Irak. Yang punya orang Irak, yang memasak orang Irak, yang menjaga juga orang Irak. Di depannya beberapa mobil besar, berwarna putih dengan strip oranye di sisi kiri dan kanan, sedang parkir. Mobil-mobil inilah yang membawa pedagang, juga para peziarah, dari Irak ke Syria dan sebaliknya.
Saya dikenalkan dengan pemilik restoran. Seperti kebanyakan pedagang Irak yang saya temui di Sayyidah Zaenab, dia memelihara kumis, dan jenggot. Matanya cekung. Dia bilang, saya punya kesempatan ke Irak sebagai peziarah, seperti orang-orang Syiah lainnya. Dia mau membantu saya mendapatkan visa. Mobil-mobil besar itu akan membawa saya sampai ke Baghdad. Dari Baghdad saya bisa menuju Padang Karbala, tempat kepala Hussein bin Ali bin Abu Thalib dipenggal tentara Yazid bin Muawiyah. Atau ke Al Najaf. Di sana ada makam Nabi Adam dan Nabi Nuh. Di tengah kedua kuburan itu ada makam Ali bin Abi Thalib, menantu dan keponakan Nabi Muhammad, khalifah keempat pasca Muhammad.
Syaratnya, peziarah tidak boleh pergi sendirian. Harus berkelompok dari negaranya. Minimal enam orang. Selama ziarah akan dikawal polisi rahasia Irak sejak dari perbatasan. Tidak boleh meninggalkan kelompok. Paspor pun ditahan.[t]
Mohon bantuan dptkan visa ke irak