0217
USAI Perang Teluk 1991, Haider Al Jayashy, pemuda dari kota Sawamah di selatan Baghdad, bergabung dengan kaum Revolusioner. Tujuan mereka satu: menjatuhkan Saddam Hussein.
Beberapa hari sebelumnya, Presiden Amerika saat itu, George Bush Senior, bapaknya George W Bush yang kini berkuasa, mengirimkan pesan singkat kepada rakyat Irak. Kira-kira bunyinya begini, “Kalau Anda, rakyat Irak, ingin menjatuhkan Saddam Hussein, silakan. Kami akan mendukung Anda.”
Pesan singkat Bush itu ditulis dalam bahasa Arab dan disebarkan dari langit Irak dengan menggunakan pesawat-pesawat Pasukan Multinasional. Jumlahnya jutaan lembar. Bush Senior ingin memastikan semua orang Irak membaca pesannya. Rakyat Irak mulai mengorganisasi diri. Kata Haider, mereka membenci Saddam sejak Saddam jadi presiden tahun 1979, mengambil alih kekuasaan dari presiden sebelumnya, Ahmad Hassan Baqir.
“Di saat yang sama, peta politik Iran berubah. Syah Pahlevi ditumbangkan Imam Ayatollah Khomeini. Bagi Saddam ini ancaman. Amerika Serikat dan beberapa negara Barat, meminta Saddam berperang dengan Iran. Mereka minta Saddam menggagalkan negara Islam Iran” cerita Heidar di sebuah kedai, di salah satu pojok Sayyidah Zaenab.
Kedai itu dikelola pengungsi Irak. Pelanggannya pun orang Irak semua. Heider yang memilih kedai itu sebagai tempat kami bicara.
“Supaya Anda bisa menangkap semangat pengungsi Irak,” jelasnya.
Suara Heider lantang berapi-api. Matanya nyalang. Sejak tahun 1996, Heidar tak lagi mengantungi KTP Irak. Dia pindah, kini jadi warganegara Amerika, negara yang pongah itu.
“Saddam merasa terancam oleh kaum Syiah yang menetap di utara dan selatan Irak. Rakyat dilarang pergi ke masjid dan shalat, dan belajar soal Islam. Kalau rakyat belajar tentang Islam, maka suatu saat, menurut Saddam, rakyat Irak akan menendangnya dari kekuasaan. Semua orang yang berhubungan dengan Iran, menikah dengan orang Iran, ditangkap,” ceritanya lagi.
Rakyat Irak berusaha menduduki kantor-kantor pemerintah di kota-kota sekitar Baghdad. Mulai dari kantor polisi, kantor walikota, sampai kantor dinas intelijen. Kantor-kantor itu dilempari pakai batu.
Demonstran berteriak-teriak kepada siapa saja yang bertahan di dalam kantor-kantor itu.
“Kalian harus meninggalkan tempat ini. Bergabunglah dengan rakyat. Kalian akan diampuni. Republik Islam Irak membuka pintu untuk kalian. Saddam Hussein tidak akan melindungi kalian setelah ini. Kami tidak akan membunuh kalian. Tapi kalau ada yang melakukan perlawanan, itu artinya mengirim diri sendiri ke neraka.”
Dua hari kemudian Sawamah dikuasai kaum revolusioner. Kota-kota lain menyusul. Hingga target tinggal satu, Baghdad, tempat Saddam bertahta.
Ribuan kaum Revolusioner, masih cerita Heider menuju Baghdad. Saddam tidak tinggal diam. Dia mengerahkan resimen khusus dan Pasukan Garda Republik memukul mundur demonstran. Sementara, kaum Revolusioner masih menunggu janji Bush Senior.
“Tidak ada bantuan. Kata Bush, mereka terikat perjanjian gencatan senjata dengan Saddam. Akhirnya kaum Revolusioner mulai lelah. Satu persatu mundur. Tidak ada makanan, tidak ada minuman, tidak ada dukungan. Rakyat menyerah dan melarikan diri ke gurun atau ke negara lain. Saya ditembak, di kaki kiri dan punggung. Saya meninggalkan Irak, ke Saudi Arabia. Pasukan Multinasional yang menyelamatkan saya,” Heider melanjutkan ceritanya.
Sejak itu, Heider tinggal di Arab Saudi. Lima tahun menunggu kejatuhan Saddam. Setelah tak lagi sabar menunggu, akhirnya Heider memutuskan pergi ke Amerika. Di Negeri Paman Sam, Heider bekerja di industri otomotif.
Bulan lalu, Heider datang ke Syria. Itulah kunjungan pertamanya sejak meninggalkan jazirah Arab. Dia tidak mungkin masuk ke Irak. Satu-satunya jalan adalah menetap di Sayyidah Zaenab. Di situlah dia bertemu dengan Ibunya, setelah berpisah belasan tahun.[t]
Can this article be translated to english and sent to me ?
Hi McCartney, thanks for coming. I would like to translate the story and send it to you. But, so far you don’t let me know your web or e-mail address. So I hope you read this reply.
Do you know someone who named Haider Al Jayashy? Or, do you just want to know what happened to Haider in this story?
Well, I met him in Syria, February 2003, just before the war in Iraq. He was born in Sawammah, southern part of Iraq. After the war in 1991, Haider and his friends marched to Baghdad, joined the Revolutionary movement to topple down Saddam Hussein.
Also after the 1991 war, the U.S. government delivered pamphlets and other propagandist materials all over the country said that the U.S. will support Iraqis if they move to against Saddam Hussein.
But, according to Haider, there was no help from the U.S. who left the country after the previous war taken place in Kuwait. So, Haider with his wounds in left leg and back ran away to Saudi Arabia, where he stayed for five years. He waited and hoped for something much better to his beloved country. But, nothing had changed. Again, he decided to move to the U.S., started his new life. He had never come back to Iraq or even Middle East ever since until 2003 when the war seems to be happened again in Iraq.
But before the actual 2003 war started, he just waited in Syria. Haider met his mother in Sayyidah Zaenab after been separated for 14 years.
That is the story, more less.
Hello, thank you . yes, pls translate and send to resamccrt@aol.com
yes, please email me the translation. thank u
@mcCartney
Well, the translation of Al Jayashi’s story is just like it is written in my first reply. More and lees.
Then when you say “yes”, i do not really understand it was a “yes” for which of my questions: whether you know someone named Al Jayashi, or you just want to know about the story in English. Please let me know.
Yes I would like the story emailed to me in English please. It is an inspring story. Thank you
@mcCartney
i have sent the translation to your e-mail. 🙂