Bertemu Cinta Pushkin yang Mematikan (dan Kisah-kisah Lain yang Terpikirkan di Depan Rumahnya)

[ I ]

The Caucas lies before my feet! I stand where
Glaciers gleam, beside a precipice rock-ribbed;
An eagle that has soared from off some distant cliff,
Lawless as I, sweeps through the radiant air!
Here I see streams at their sources up-welling,
The grim avalanches unrolling and swelling!

The Caucas
Alexander Sergeyevich Pushkin

DI dalam benteng Damaskus Tua di Suriah yang kini sedang bergolak ada sebuah jalan yang menarik perhatian saya. Namanya Jalan Lurus. Atau dalam bahasa Arab, seperti yang tertulis di papan nama di jalan itu, Sirah al Mustakim.

Lidah Indonesia membuatnya menjadi Sirotul Mustakim.

Jalan sepanjang kurang dari satu kilometer itu bermula dari Bab Sarqi dan Menara Baido di salah satu sisi tembok kota tua dan berakhir di tengah benteng, di dekat bekas Istana Bani Muawiyah yang kini menjadi Masjid Muayyid. Sebelum menjadi istana dan masjid, bangunan itu adalah gereja. Dan sebelum menjadi gereja, di masa Romawi ia adalah kuil untuk menyembah Dewa Jupiter. Di dalamnya Anda akan menemukan makam Nabi Yahya yang dalam tradisi Kristiani dikenal sebagai John the Baptist. Menurut kisah, Nabi Yahya yang menyaksikan kehadiran Nabi Isa dalam tradisi Islam atau Yesus Kristus dalam tradisi Kristiani, mati dipenggal tentara Romawi.

Ada satu tempat lagi yang menarik di kompleks masjid ini. Di lantai bawah tanah Anda bisa menemukan tempat Yazid bin Muawiyyah menyimpan kepala Hussein bin Ali yang dipenggal pasukan cucu Abu Sofyan itu di Padang Karbala, Irak kini. Kaum Syiah yang berkunjung ke Masjid Muayyid biasanya tak menyempatkan diri mampir ke dalam ruang utama masjid. Tempat pertama dan mungkin satu-satunya yang mereka kunjungi di kompleks Muayyid adalah lantai bawah tanah dan lubang besar di dinding yang berbentuk kotak tempat kepala Imam Hussein diletakkan Yazid cucu Abu Sofyan untuk beberapa waktu lamanya.

Jalan Lurus atau Sirah Al Mustakim ini tak terlalu lebar. Di sisi kanan dan kiri adalah deretan rumah yang berbaris rapi. Ketika saya berkunjung ke sana delapan tahun lalu, beberapa dari rumah-rumah itu dalam keadaan tak terawat dan rusak berat. Semakin ke dalam Anda akan menemukan beberapa sekolah. Ada sekolah yang didirikan untuk pengikut sekte Islam tertentu. Ada sekolah yang mengajarkan semacam ilmu hubungan internasional. Juga ada beberapa gereja Orthodox. Bab Sarqi dan kawasan di sekitarnya memang merupakan pojok Orthodox di dalam Damaskus Tua.

Cerita tentang Menara Baido di mulut Jalan Lurus pun cukup menarik. Seorang teman yang membawa saya menyusuri Jalan Lurus berkata bahwa kelak menjelang akhir jaman, Nabi Isa yang dalam tradisi Islam dipercaya moksa naik ke langit karena diselamatkan Allah SWT dari penyergapan pasukan Pontius Pilatus di Taman Getsemani akan kembali ke bumi melalui menara putih itu. Lalu dari Damaskus atau Syam ia berangkat ke Masjidil Haram di Mekkah Al Mukarramah, dan memimpin umat Islam sedunia.

Kisah ini, kata teman yang bersekolah di hauzah Syiah di Sayyidah Zaenab, beberapa kilometer dari pusat Damaskus, diterima dengan baik oleh kaum Sunni maupun Syiah. Hanya saja, sambungnya, dalam tradisi Syiah kisah ini belum selesai. Disebutkan bahwa beberapa saat setelah umat Muslim dipimpin Nabi Isa, turunlah Imam Mahdi. Dia adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Seperti yang dialami Nabi Isa, Imam Mahdi juga moksa diangkat ke langit oleh Tuhan.

Setelah Imam Mahdi tiba, Nabi Isa akan memberikan tempatnya kepada Imam Mahdi. Jadi, Imam Mahdi inilah yang akan memimpin umat Islam hingga menemui akhir jaman.

Sudah barang tentu bagian ini hanya populer di kalangan penganut Syiah, kata teman itu lagi. Saat saya tanya lebih lanjut, dia tidak bisa memastikan, apakah Imam Mahdi yang turun itu adalah Imam ketujuh, atau ke-12, atau mungkin yang lain lagi.

Soal yang satu ini, katanya, seperti banyak soal yang lain, adalah urusan keyakinan masing-masing.

Saya setuju.

Seorang teman lain yang suka iseng dengan berbagai kisah membayangkan kata sirotul mustakim dalam Surat Al Fatihah ada hubungannya dengan Jalan Lurus di Damaskus Tua ini. Bukankah, katanya bertanya, ketika masih kecil Nabi Muhammad SAW sering mengikuti pamannya, Abu Thalib, berdagang hingga ke negeri Syam?

Saya tak bisa menjawab. Saya hanya seorang penikmat cerita yang berusaha merekam semua kisah sebaik mungkin.

[ II ]

Rich the first flower’s graces be,
But dearer far the last to me;
My spirit feels renewal sweet,
Of all my dreams hope or desire–
The hours of parting oft inspire
More than the moments when we meet!

The Last Flower
Alexander Sergeyevich Pushkin

NAMUN yang jelas tulisan ini bukan tentang Jalan Lurus di Damaskus dan berbagai kisah prophetic yang disimpannya. Melainkan tentang seruas jalan di Golden Ring, jantung kota Moskow, Rusia. Nama jalan itu: Arbat. Ketika menyusuri Jalan Arbat itulah saya teringat kembali akan Jalan Lurus di Damaskus Tua.

Mengapa?

Apakah karena saya menemukan kemiripan kisah-kisah di balik Jalan Lurus dan Jalan Arbat?

Tidak. Bahkan sampai sejauh ini saya belum menemukan kisah dan cerita yang patut dipersandingkan di antara kedua jalan itu.

Mungkin ini hanya soal sepele. Karena di mata saya Jalan Arbat terlihat begitu lurus, selurus Jalan Lurus. Dan lagi di telinga saya yang awam ini kata “arbat” tak terdengar seperti kata dalam bahasa Rusia. Sepintas ia lebih mirip kata dalam bahasa Arab.

Jalan Arbat terbentang kurang dari satu kilometer, menghubungkan persimpangan Smolenskaya di sisi kanan gedung Kementerian Luar Negeri Federasi Rusia dan Arbatskaya di seberang gedung Kementerian Pertahanan. Kata banyak orang, tak lengkap kunjungan Anda ke Moskow bila Anda tak mampir menyusuri jalan yang dipenuhi seniman jalanan yang berlomba memamerkan kemampuan mereka dengan segala cara. Ada pelukis, pemain musik, pembaca puisi, tukang sulap, pemain sirkus kecil-kecilan, restoran, toko barang antik dan suvenir. Juga kelompok anak muda yang sedang latihan break dance diiringi lagu-lagu hip-hop berbahasa Inggris. Pasangan-pasangan muda pun tak segan mengumbar cinta di tengah jalan itu.

Arti dari kata “arbat” yang digunakan sebagai nama jalan itu tidak diketahui pasti. Tetapi setidaknya ada tiga dugaan yang kerap digunakan untuk menjelaskan darimana kemungkinan kata itu berasal. Dugaan yang paling kuat adalah, kata “arbat” diambil dari kata “arbad” yang dalam bahasa Arab berarti “pinggiran kota” atau dalam bahasa Inggris berarti “suburb” dan “outskirt”.

Dugaan ini tampaknya paling bisa diterima sebagai kebenaran umum mengingat bahwa pada abad ke-16 kawasan di sekitar Jalan Arbat kini membentuk bagian luar Moskow. Adapun Kremlin merupakan pusatnya. Ada dua kemungkinan mengapa kata dalam bahasa Arab itu bisa menjadi nama sebuah jalan di Moskow. Pertama berkaitan dengan beberapa serangan yang dilakukan Kesultanan Krimea ke kota Moskow pada abad ke-15 dan 16. Kedua, juga bisa jadi karena pengaruh berbagai subbangsa Turki di sekitar Kaukasus dan Asia Tengah yang bergabung dengan Uni Soviet. Mereka ini mengadopsi cukup banyak kata Arab dalam kamus percakapan sehari-hari mereka.

Kota Kolomna yang berada sekitar 100 kilometer arah tenggara Moskow juga punya Jalan Arbat. Di masa yang lampau, Kolomna pun sering diserang bangsa-bangsa Turki yang berada di sekitar kawasan itu.

Dugaan lain yang cukup bisa diterima adalah kata “arbat” berasal dari bahasa Tatar, “arba” yang berarti “kereta” atau dalam bahasa Inggris berarti “cart” mengingat bahwa di masa lampau kawasan itu adalah jalur perdagangan yang kerap dilalui oleh konvoi kereta kuda. Bisa jadi juga di sekitar kawasan itu dulu ada banyak bengkel pembuatan kereta.

Mungkin karena tak bisa menerima kedua dugaan di atas, pada abad ke-19 seorang arkeolog Rusia, Ivan Yegorovich Sabelin, berusaha menggali akar kata “arbat” dari kedalaman kamus bahasa Rusia. Dan sepintas ia menemukannya. Menurut Sabelin, kata “arbat” sesungguhnya berasal dari kata “gorbat” dalam bahasa Rusia, yang dalam bahasa Indonesia bermakna “tidak rata” atau “menghentak” sehingga membuat kendaraannya yang melaluinya “bergoyang dan terguncang”. Kalau dalam bahasa Inggris keadaan ini disebut “bumpy”.

Menurut sang arkeolog Sabelin, kata “gorbat” lebih menjelaskan karena berkaitan dengan struktur alami dan tekstur kota Moskow yang bergelombang, naik dan turun. Itu benar. Moskow memang di bangun di atas areal yang bergelombang.

Penjelasan Sabelin ini mengandung masalah serius. Karena Jalan Arbat sendiri terlihat sungguh rata, dari ujung ke ujung sama sekali tidak bergelombang.

Jalan Arbat dikenal sebagai adalah salah satu jalan tertua di Moskow. Kapan persisnya jalan itu dibangun sama sekali tidak diketahui. Namun Jalan Arbat disebutkan dalam sebuah dokumen bertanggal 28 Juli 1493 yang menjelaskan kebakaran hebat di Moskow yang menjalar dari Gereja Nikolas di Atas Pasir yang tak jauh dari Jalan Arbat. Setelah musnah ditelan api, gereja itu kembali dibangun pada 1635. Ketika Joseph Stalin berkuasa, Gereja Nikolas di Atas Pasir dihancurkan pemerintahan Uni Soviet.

[ III ]

I loved you, and I probably still do,
And for a while the feeling may remain…
But let my love no longer trouble you,
I do not wish to cause you any pain.
I loved you; and the hopelessness I knew,
The jealousy, the shyness – though in vain –
Made up a love so tender and so true
As may God grant you to be loved again.

I Loved You
Alexander Sergeyevich Pushkin

SALAH satu tempat bersejarah di Jalan Arbat adalah kediaman sastrawan besar Rusia, Aleksander Pushkin yang hidup antara 1799 hingga 1837. Pushkin dan istrinya, Natalia Goncharova, tinggal di sebuah mansion berwarna biru yang masih berdiri hingga kini. Di seberang mansion biru itu pun masih berdiri patung Pushkin dan Natalia usai pernikahan mereka di Gereja Great Ascension yang tak jauh dari tempat itu.

Pushkin dipandang sebagai sastrawan besar Rusia bukan hanya karena sejumlah karya yang dia hasilkan seperti puisi The Bronze Horseman, The Stone Guest, Mozart and Salieri, atau karya favoritnya Eugene Onegin. Lebih dari itu, dia diakui sebagai peletak dasar bahasa Rusia modern. Bahasa yang digunakan dalam berbagai karya Pushkin menjadi benchmark yang diikuti sastrawan-sastrawan Rusia yang hidup setelahnya, seperti Ivan Turgenev, Ivan Goncharov dan Leo Tolstoy.

Salah seorang murid Pushkin, Nikolai Gogol, disebutkan begitu mengagungkan Pushkin. Begitu juga dengan kritikus sastra Vissarion Belinsky yang membuat karya Pushkin semakin diterima masyarakat Rusia.

Pushkin digambarkan sebagai lelaki yang begitu mencintai istrinya yang jelita. Sebegitu cantiknya Natalia, sampai-sampai gossip yang berkembang menyebutkan bahwa Tsar Nikolas juga jatuh cinta dan sering menggoda Natalia.

Pushkin kecewa mengetahui istrinya main mata dengan seorang pemuda Prancis kenalan mereka, George D’Athens, anak angkat dutabesar Belanda. Disebutkan bahwa kecurigaan-kecurigaan Pushkin itu tak pernah terbukti. Namun cemburu yang telah menguasai hati tak mampu menahan amarah di dalam dadanya.

Demi mempertahankan harga diri, Pushkin menantang George duel. Pushkin tewas dalam duel yang dilakukan pada suatu tengah hari di bulan Januari 1837 di St. Peterburg. Kisah ini mirip dengan adegan pada babak terakhir karyanya, Eugene Onegin

Kematiannya mengagetkan masyarakat Rusia juga pemerintah. Untuk meredam kemarahan dan kecewa rakyat, prosesi pemakakam Pushkin dilakukan di sebuah gereja kecil. Baru tiga dekade setelah itu pemerintah mengakui Pushkin sebagai sastrawan besar. Patungnya didirikan di Moskow pada 1880.

Di depan rumah Pushkin di Jalan Arbat yang kini menjadi museum itulah saya bertemu seorang pelukis jalanan, Gennady dari Georgia.

[ IV ]

October has arrived – the woods have tossed
Their final leaves from naked branches;
A breath of autumn chill – the road begins to freeze,
The stream still murmurs as it passes by the mill,
The pond, however’s frozen; and my neighbor hastens
to his far-flung fields with all the members of his hunt.
The winter wheat will suffer from this wild fun,
And baying hounds awake the slumbering groves.

Autumn
Alexander Sergeyevich Pushkin

GENNADY, pelukis di Jalan Arbat, Moskow, Rusia, itu mengingatkan saya pada Gennady Yanayev, wakil presiden Uni Soviet yang berusaha mengkudeta Mikhail Gorbachev di bulan Agustus 20 tahun silam.

Tak sedikit yang percaya Gennady Yanayev adalah otak di balik kudeta yang dilancarkan sejumlah pejabat tinggi pemerintah yang kecewa melihat ketidakmampuan Gorbachev mengendalikan roda pemerintahan. Namun banyak juga yang menganggap Yanayev hanya sekadar boneka dari skenario besar yang entah disiapkan oleh siapa.

Ketika itu, di mata para kameradnya Gorbachev dianggap sebagai figur yang lemah dan tidak punya visi. Ia juga dikecam karena dianggap hanya tertarik membangun citra di forum internasional. Serta terlalu bersahabat dengan Amerika.

Soviet Coup 1991

Pagi hari 19 Agustus 1991 pasukan militer yang dikuasai jenderal-jenderal komunis dan dikendalikan Yanayev berkumpul di Kremlin untuk mempertegas pengambilalihan kekuasaan dari tangan Gorbachev. Pidato pengambilalihan kekuasaan disiarkan pukul 07.00. Beberapa tokoh yang dianggap berbahaya telah diamankan. Sejauh ini, kudeta tampak berjalan mulus.

Sehari sebelumnya, Yanayev mengutus empat pejabat menemui Gorbachev yang sedang beristirahat di Crimea. Keempat orang itu adalah Wakil Kepala Dewan Pertahanan Uni Soviet Oleg Baklanov, Kepala Sekretaris Kabinet Valeriy Boldin, Sekretaris Pimpinan Pusat Partai Komunis Oleg Shenin, dan Wakil Menteri Petahanan Vakentin Varennikov.

Mereka ditugaskan untuk mendesak Gorbachev agar mau mengumumkan negara dalam keadaan darurat dan menyerahkan kekuasaan kepada Yanayev. Tapi Gorbachev menolak. Ia ditahan di rumah peristirahatannya itu dan tak diizinkan kembali ke Moskow sampai hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain selesai dilakukan.

Sedianya pemerintahan darurat akan dipimpin oleh Gennady Yenayev. Namun figur lain yang juga menonjol saat itu, Presiden Republik Rusia Boris Yeltsin, mampu mencuri perhatian publik. Yeltsin dianggap sebagai tokoh yang merakyat. Ia, misalnya, tak sungkan menggunakan transportasi publik dan bergaul dengan masyarakat kalangan bawah.

yeltsin-tank

Pagi itu, sekitar pukul 09.00 Yeltsin baru kembali dari Kazakhstan. Di gedung Parlemen Rusia, yang kemudian dikenal dengan nama Gedung Putih, ia mengumumkan perlawanan. Yeltsin mengecam kelompok Yanayev yang mengangkangi konstitusi dan meminta militer tidak melibatkan diri dalam perebutan kekuasaan. Untuk menghadapi kudeta Yanayev, Yetlsin mengajak rakyat melakukan mogok sampai Gorbachev kembali memimpin negeri.

Belakangan cerita di belakang layar mengenai hubungan baik antara Yeltsin dan Kedubes Amerika Serikat mulai dibicarakan dan dituliskan di berbagai media massa Rusia. Di detik-detik terakhir menjelang Avgustovsky Putch itu Amerika Serikat mengubah permainan. Dari sebelumnya mendukung Gorbachev, kini berbalik mendukung Yeltsin yang tampak lebih populis. Di sisi lain bagi Yeltsin dukungan Amerika Serikat itu ibarat supplement yang memacu adrenalin. Ia semakin percaya diri dalam memanfaatkan perpecahan di kalangan elite Uni Soviet dan mengambil keuntungan.

Terganggu oleh pembangkangan Yeltsin, sore hari sekitar pukul 16.00, Yanayev dan keempat anggota konspirator menggelar jumpa pers untuk menjelaskan mengapa mereka mengambil alih kekuasaan.

“Beberapa tahun terakhir dia (Gorbachev) begitu lelah dan butuh istirahat,” ujar Yanayev dalam jumpa pers. Sejumlah laporan media menyerbutkan bahwa dalam jumpa pers itu justru Yanayev yang terlihat lelah. Bahasa tubuhnya seperti orang yang kekurangan rasa percaya diri. Belum lagi, sesekali tangannya bergetar. Secara umum, penampilan Yanayev petang itu gagal meyakinkan publik. Tak sedikit yang curiga dia sedang berada di bawah pengaruh alkohol.

Sementara itu, pasukan tank yang diperintahkan mengepung Gedung Putih disambut Yeltsin dengan senyum mengembang. Komandan pasukan yang bersimpati mempersilakan Yeltsin naik ke salah satu tank bersama beberapa pendukungnya. Di atas tank itu Yeltsin berhasil meyakinkan publik bahwa dia berada di atas segalanya. Di atas Yanayev, juga di atas Gorbachev.

[ V ]

Gift haphazard, unavailing,
Life, why were thou given me?
Why art thou to death unfailing
Sentenced by dark destiny?

Who in harsh despotic fashion
Once from Nothing called me out,
Filled my soul with burning passion
Vexed and shook my mind with doubt?

I can see no goal before me;
Empty heart and idle mind.
Life monotonously o’er me
Roars, and leaves a wound behind.

May 26, 1828
Alexander Sergeyevich Pushkin

KUDETA yang dirancang kelompok Yanayev mentah sejak dari awal. Tak ada rencana yang matang sama sekali untuk menghadapi setiap perkembangan dan kejadian tak terduga di lapangan. Tak ada garis komando yang pasti. Yanayev yang seharusnya bertindak cepat nyatanya lebih banyak membuang waktu.

Perintah menyerang Yeltsin baru diputuskan keesokan hari. Sementara mobilisasi pasukan berjalan sangat lamban. Beberapa komandan pasukan tempur yang hendak dilibatkan juga mulai berani menyampaikan dissenting opinion. Menyadari bahwa kini rakyat Rusia berada di belakang Yeltsin, mereka, para komandan pasukan tempur itu, tak mau operasi menumbangkan Yeltsin memakan korban jiwa.

Begitupun pasukan mulai bergerak ke Gedung Putih pada pukul 01.00 dinihari 21 Agustus 1991. Di tengah jalan mereka menghadapi blokade yang disiapkan masyarakat. Ratusan bus diparkir di tengah jalan untuk menghambat laju pasukan.

Di dekat Kantor Pemerintah Federasi Rusia, Belly Dom atau Gedung Putih, di tepi Sungai Krasnopresnenskaya, masyarakat membuat blokade dari kayu-kayu furniture rumah mereka.

Keadaan memanas ketika tiga mahasiswa tewas tertembak tanpa sengaja tak jauh dari Gedung Putih. Masyarakat yang marah membakar satu unit kendaraan tempur. Tak ada korban di pihak tentara. Kejadian ini membuat keraguan semakin besar di kalangan tentara yang ingin menyerang Gedung Putih. Alpha Group dan Vympel Group yang sejak awal sudah memperlihatkan keraguan akhirnya memilih mundur. Sore hari serangan ke Gedung Putih pun dinyatakan gagal total.

Sekitar pukul 17.00 kelompok konspirator kudeta terbang ke Crimea hendak bertemu Gorbachev. Tetapi Gorbachev menolak. Bersama anggota keluarganya ia kembali ke Moskow dinihari 22 Agustus 1991. Gorbachev kembali memegang kekuasaannya yang lepas selama dua hari. Tapi kini ia tidak sendirian. Uni Soviet telah menyaksikan kehadiran bintang baru yang jauh lebih cemerlang dan menjanjikan, Yeltsin.

Perlahan tapi pasti, Yeltsin menempatkan diri sebagai penguasa dan menggerogoti eksistensi Uni Soviet. Sementara itu, satu persatu republik meninggalkan Uni Soviet, mengikuti tiga republik yang mundur sebelum kudeta Agustus (Lithuania, Latvia dan Georgia), dan dua republik yang mundur di saat kudeta berlangsung (Estonia dan Latvia secara de facto).

Di bulan November 1991 Yelstsin membubarkan Partai Komunis Uni Soviet dan melarangnya beraktivitas di Republik Rusia. Sebulan kemudian, 31 Desember 1991, giliran Gorbachev mengundurkan diri dari posisi presiden Uni Soviet.

Seminggu sebelum itu, Yeltsin telah mendahului. Ia mengirimkan surat kepada Sekjen PBB, mengatakan bahwa Rusia adalah pengganti Uni Soviet di PBB.

Di akhir Kudeta Agustus, Yanayev dan semua pejabat yang terlibat ditangkap. Mereka dipenjara hingga diberikan amnesti pada 1994.

Di tahun 2008, dalam sebuah wawancara dengan media massa, Yanayev mengatakan dirinya menyesal mengambil alih kekuasaan. Ia pun mengaku tak memegang blue print kudeta. Dia hanya setuju memimpin apa yang disebut sebagai Komite Darurat pada tanggal 20 Agustus 1991.

Pada 24 September 2010, hampir setahun lalu. Yanayev meninggal dunia karena kanker paru-paru. Tiga tahun sebelumnya, April 2007, Yeltsin lebih dahulu menghembuskan nafas terakhir. Dari tiga tokoh utama itu, kini tinggal Gorbachev yang masih bisa bercerita pada dunia tentang kudeta yang digambarkan sementara kalangan sebagai kudeta merangkak di atas kudeta gagal itu.

[ VI ]

I watch Inesilla
Thy window beneath,
Deep slumbers the villa
In night’s dusky sheath.

Enamoured I linger,
Close mantled, for thee–
With sword and with guitar,
O look once on me!

Art sleeping? Wilt wake thee
Guitar tones so light?
The argus-eyed greybeard
My swift sword shall smite.

The ladder of ropes
Throw me fearlessly now!
Dost falter? Hast thou, Sweet,
Been false to thy vow?

I watch Inesilla
Thy window beneath,
Deep slumbers the villa
In night’s dusky sheath!

A Serenade
Alexander Sergeyevich Pushkin

TAK banyak yang saya tahu tentang Gennady dari Georgia, pelukis jalanan di Jalan Arbat yang sore itu kebanjiran pelanggan.

Dia memilih tak pulang ke Georgia setelah negara itu melepaskan diri dari Uni Soviet pada April 1991.

Georgia adalah satu dari tiga republik soviet yang memilih meninggalkan Uni Soviet sebelum kekisruhan politik di Kremlin semakin tak terkendali. Sebulan sebelumnya, Lithuania lebih dahulu hengkang, dan sebulan kemudian Latvia secara de jure.

Ketika kudeta yang gagal itu terjadi di bulan Agustus 1991, Uni Soviet sudah compang-camping. Kehancurannya sudah mendekati kenyataan. Ketika Gennady Yenayev, entah siapapun yang mengendalikannya, membariskan pasukan tank di Lapangan Merah dan memerintahkan sebagian dari mereka menyerang Yeltsin di Gedung Putih, Estonia mengikuti langkah ketiga republik soviet itu.

Oleh sementara kalangan, kudeta itu berhasil dipatahkan.

Namun belakangan semakin banyak pandangan yang menilai bahwa kudeta justru baru dimulai ketika Yeltsin berdiri di atas tank, petang hari, 19 Agustus 1991.

Setelah kudeta berhasil dipukul pulang ke kandang, nyatanya gerakan memisahkan diri dari Uni Soviet tak dapat dihentikan lagi. Ukraina memisahkan diri di tanggal 24 Agustus, diikuti Belarusia sehari kemudian. Lalu Moldova, Azerbaijan, dan Kyrgyzstan yang juga memisahkan diri sebelum bulan berganti. Uzbekistan menjadi republik soviet pertama yang menarik diri di bulan September, diikuti Tajikistan dan Armenia. Turkmenistan dan Kazakhstan mengikuti para pendahulu mereka di bulan Oktober dan Desember.

Puncaknya adalah ketika Yeltsin menyatakan republik soviet yang dipimpinnya juga meninggalkan Uni Soviet pada 24 Desember. Ia mengambil alih semua aset Uni Soviet, termasuk kursi yang ditinggalkan di PBB.

Gennady yang pelukis kini tinggal di sebuah dacha di luar kota Moskow. Keterampilan melukis dipelajarinya secara otodidak. Seingat Gennady, tak seorang pun dari leluhurnya yang pelukis. Ia lahir dan besar di tengah keluarga petani.

Dengan bercanda dia mengatakan, terkadang dirinya merasa sebagai reinkarnasi Van Gogh, pelukis ternama dari Belanda yang hidup di paruh kedua abad 19.

Lukisan Gennady bisa dikatakan bergenre realis-karikatural (entah apakah genre ini memang ada). Pilihan spesialisasi yang tepat, mengingat hampir semua pelukis jalanan di Jalan Arbat beraliran realis.

Tarif lukisan Gennady pun terbilang murah, hanya 100 rubel. Jauh lebih murah dibandingkan dengan tarif pelukis realis di tempat itu yang berkisar antara 200 hingga 500 rubel. Waktu yang digunakan Gennady untuk menyelesaikan lukisan pun tak terbilang lama. Sekitar lima menit untuk satu lukisan. Bayangkan potensi keuntungan Gennady di Jalan Arbat: produk yang relatif lebih menarik, harga yang lebih murah dan waktu pengerjaan yang lebih singkat.

Tetapi bagi Gennady, melukis adalah melukis: membagi kebahagiaan untuk orang lain.

Selama melukis ia tak banyak bicara. Tapi mulutnya selalu tersenyum. Barangkali setara dengan keindahan senyum yang terukir di mulut patung Pushkin dan Natalia yang hanya beberapa meter dari tempat saya dilukis. Atau seindah senyum Boris Yeltsin ketika menyadari dirinya akan keluar sebagai pemenang dalam pertarungan di kalangan elite Uni Soviet.

Entahlah.

Namun yang pasti seindah langit senja Moskow yang mulai menyapa di atas Jalan Arbat.

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

One thought on “Bertemu Cinta Pushkin yang Mematikan (dan Kisah-kisah Lain yang Terpikirkan di Depan Rumahnya)”

Leave a comment