Prof. Dr. Boediono dan Inong Malinda Dee yang Serupa Tapi Tak Sama

Tak banyak yang mengaitkan kedua individu ini, Prof. Dr. Boediono dan Inong Malinda Dee, manakala berbicara tentang praktik kejahatan perbankan.

Keduanya terlihat jauh berbeda, bagaikan bumi dan langit saja. Yang pertama adalah pejabat di sejumlah institusi perekonomian negara. Mulai dari Bank Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Menteri Keuangan, ke Bank Indonesia lagi, lalu kini menjadi Wakil Presiden. Sementara yang kedua adalah pegawai bank asing terpandang di negeri ini, Citibank, yang mendadak menjadi pusat pemberitaan setelah ketahuan mencuci Rp17 miliar uang nasabah.

Sejauh ini, belum banyak yang kita ketahui tentang Malinda Dee, baru sebatas aksi pencucian uang yang melibatkan dirinya dan kini sedang diselidiki terus apakah melibatkan pihak lain, atau koleksi mobil mewahnya, dan suami mudanya, serta penampilannya yang bagi sebagian kalangan dinilai aduhai.

Adapun Boediono sudah barang tentu sangat dikenal sebagai intelektual yang mumpuni di bidangnya. Ia memulai kariernya di Bank Indonesia, dan pertama kali jadi menteri pada Kabinet Reformasi Pembangunan yang dipimpin BJ Habibie. Di kabinet itu dia dipercaya menduduki kursi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional. Setahun kemudian, Boediono meninggalkan gelanggang bersama Habibie yang tak lagi mendapat mandat.

Presiden Abdurrahman Wahid tak menyertakan Boediono dalam Kabinet Persatuan Nasional. Ia kembali masuk gelanggang setelah Gus Dur jatuh dan digantikan Megawati Soekarnoputri. Oleh Mega, Boediono diangkat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Gotong Royong.

Boediono kembali tenggelam setelah Mega turun dan digantikan SBY tahun 2004. Tidak lama. Setahun kemudian SBY mengundang Boediono masuk kabinet sebagai Menko Perekonomian menggantikan Aburizal Bakrie yang digeser ke posisi Menko Kesra.

Tahun 2008, Boediono mendapatkan posisi baru. Menyusul kekosongan kursi Gubernur BI setelah Burhanuddin Abdullah ditahan, di bulan April tahun itu SBY mengajukan Boediono sebagai calon tunggal Gubernur BI. Hanya Fraksi PDI Perjuangan yang menolak pencalonan itu. Pada Mei 2008 Boediono pun dilantik sebagai Gubernur BI.

***

Adakah hubungan antara Boediono dan Malinda Dee?

Bagi politisi dan ekonom Fuad Bawazier, jawaban atas pertanyaan itu jelas: ada!

Berbicara dalam sebuah diskusi di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, hari Minggu lalu (10/4), Fuad menyebut Boediono dan Malinda Dee dihubungkan oleh kejahatan dunia perbankan nasional yang terjadi karena praktik kekuasaan yang korup.

Bila Malinda Dee yang mendadak jadi sorotan publik terlibat dalam pencucian Rp17 miliar dana nasabah (mungkin jumlah ini akan terus bertambah seiring proses penyelidikan yang terus dilakukan), maka Boediono telah dinyatakan dua lembaga tinggi negara, DPR dan BPK, terlibat dan melanggar aturan hukum dalam pemberian bailout untuk Bank Century yang secara total bernilai Rp6,7 triliun.

Fuad membandingkan Indonesia dan Republik Rakyat China yang sejak era Den Xio Ping maju pesat ibarat naga yang bangkit dari tidur panjang. Sang adidaya Amerika Serikat saja sampai panik.

Adapun Indonesia, sambung Fuad, sampai sekarang masih belum jelas apakah bisa bangkit atau tidak. Padahal negara ini adalah negara yang paling kaya dari sudut apa saja; pasar begitu besar, sumber daya alam begitu bagus, memiliki ribuan pulau. Tetapi, tetap saja tidak berubah dan miskin rakyatnya.

“Penyebab ini semua kalau diringkaskan karena skandal perbankan. Skandal perbankan ini karena penyakit korupsi. Penyakit ini susah diberantas karena penegakan hukum lemah. Penegakan hukum lemah karena korupsi bermarkas-besar di pusat kekuasaan,” jelas mantan Menteri Keuangan di kabinet terakhir Soeharto ini.

“Pusat kekuasan ini tidak menegakkan aturan. Termasuk BI. BI yang harus mengawasi perbankan nasional malah diam dan memuluskan pelanggaran. Mereka pakai bahasa indah untuk menutupi pelanggaran. Padahal saya mau muntah. Nah Boediono itu spesialis pembobol perbankan,” sambungnya.

Dalam kasus Citibank, sebut Fuad, bank itu tahu karakteristik nasabah Malinda Dee kira-kira adalah pihak yang “kalau ribut takut pajak dan takut polisi.” Nasabah model begini akhirnya mengambil kesimpulan: mendingan disedekahkan saja. Mereka percaya sesama maling tidak akan saling teriak.

***

Boediono sudah berkantor sekitar lima bulan, ketika pada 30 Oktober 2008, Bank Century mengajukan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp1 triliun. Permintaan ini diulangi Bank Century pada tanggal 3 November 2008.

Kala itu menurut analisis BI, Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Century hanya sebesar positif 2,35 persen. Masih jauh di bawah CAR minimal untuk mendapatkan FPJP yang dinyatakan dalam Peraturan BI 10/26/PBI/2008, yakni sebesar positif 8 persen.

Dalam laporan investigasi Bank Century yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) disebutkan bahwa pada tanggal 14 November 2008 BI mengubah persyaratan CAR untuk mendapatkan FPJP menjadi “positif” saja.

“Sementara itu, berdasarkan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa posisi CAR BC (Bank Century) pada tanggal 31 Oktober 2008 sudah negatif 3,53 persen. Sehingga seharusnya BC tidak memenuhi syarat untuk memperoleh FPJP,” tulis BPK.

Selain itu, masih sebut laporan BPK tadi, sebagian jaminan FPJP yang diperjanjikan, sebesar Rp467,99 miliar ternyata tidak secure.

Namun demikian, Boediono merestui FPJP untuk Bank Century.

Inilah awal megaskandal danatalangan Bank Century.

Author: TeguhTimur

Born in Medan, lives in Jakarta, loves Indonesia.

Leave a comment